BIJAK ONLINE (Bukittinggi)-Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan & RB) Yuddy Chrisnandi meminta ASN yang ada di Indonesia agar merubah cara berpikir dan cara berpandang yang ada di Indonesia.

“Pola pikir “priyayai” harus dihilangkan, pada saat ini ASN harus mampu mencari dukungan dan kepercayaan lebih dari masyarakat, jadi apabila ada program-program pemerintah akan lebih mudah tersampaikan, mudah dipahami, mudah dimengerti sehingga akan memancing masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan” ujarnya pada saat pembukaan Forum Koordinasi Pendayagunaan Aparatur Negara Daerah (FORKONPANDA), Jumat, 8 April 2016 di Ruang Sidang Istana Bung Hatta, Bukittinggi, yang dihadiri oleh Sekda Sumbar Ali Asmar, Sekda Kabupaten/ Kota se-Sumbar serta Kepala SKPD Provinsi dan Kota Bukittinggi.

Lanjut, Yuddy Chrisnandi menjelaskan salah cara mendekatkan diri kepada masyarakat yakni betul-betul bekerja dengan memberikan pelayanan yang terbaik dan berkualitas. “Bagaimana masyarakat bisa dekat dengan pemerintah, sedangkan aparaturnya saja tidak melayani masyakaratnya dengan maksimal, seperti : pelayanan yang buruk, izin yang berbelit-belit dan birokrasi yang rumit” sebutnya.

Kemudian Menpan juga menjelaskan, peningkatan profesionalisme ASN sudah tidak dapat ditawar lagi. Apalagi kita telah memasuki era Masyarkat Ekonomi Asean (MEA), oleh sebab itu birokrasi kita disemua tingkatan pemerintahaan dituntut lebih adaptif dan antisipatif terhadap berbagai perubahan yang sedang dan akan terjadi. “Kita sudah tidak bisa lagi mentoleransi ASN yang asal kerja saja, setiap ASN dituntut untuk memberikan kontribusi kinerja yang jelas dan terukur kepada organisasinya dan masyarakat” tekannya.

Untuk kancah Internasional Menpan & RB, menyatakan penyebab utama belum naiknya peringkat Indonesia dalam mewujudkan pemerintahan kelas dunia, khususnya dari dalam lingkungan birokrasi baik secara global maupun dilingkup negara-negara ASEAN disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya faktor yang paling besar pengaruhnya adalah korupsi dan inefesiensi (pemborosan, pemubaziran dan ketidakefesienan) birokrasi pemerintahan.  Hal tersebut didasarkan pada beberapa laporan kinerja pemerintahan, seperti :
1.     The Global Competitiveness Report 2015-2016 (World Economic Forum, yang menempatkan daya saing Indonesia di peringkat ke-37 dari 140 negara. Jika dibandingkan dengan anggota ASEAN lainnya, peringkat Indonesia berada dibawah Singapura, Malaysia dan Thailand yang secara terpisah masing-masing menduduki peringkat ke-2, ke-18 dan k eke-32,
2.   The Worldwide Governance Indocator menunjukkan bahwa nilai rata-rata indeks efektivitas pemerintahan Indonesia ditahun 2014 masih sangat rendah yaitu dengan nilai indeks -0,001 dan berada di peringkat ke-85, sedangkan ditingkat ASEAN peringkat kita kalah dibandingkan dengan Singapura (peringkat ke-1, skor +2,19), Malaysia (peringkat ke-32, skor +1,14 dan Thailand peringkat ke-62, skor +0,34),

3.    Laporan peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business) tahun 2016, menempatkan Indonesia pada peringkat ke-109 dengan skor 58,12 (dari sektor maksimal 100 pada 189 negara). Bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Singapura (peringkat ke-1, skor 87,34), Malaysia (peringkat 18, skor 79,13), Thailand (peringkat ke-49, skor 71,42) dan Vietnam (peringkat 90, skor 62,10),

4.      Indeks Persepsi Korupsi (IPK atau The Corruption Perceptions Index), Indonesia menurut data terakhir dari Transperacy Internasional (TI) juga masih rendah yakni dengan nilai 36 yahun 2015 pada posisi ke-88 dari 168 negara yang disurvei atau dengan kata lain, skor IPK kita sejajar dengan Albania, Aljazair, Maroko, Peru, Suriname, Sungapura (skor IPK 86) dan Malaysia (skor IPK 50).Mengatiasi masalah tersebut, 

Menpan & RB meminta pemerintah harus mampu berpikir selangkah kedepan melalui produk-produk kebijakan yang menjamin, pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan dan program yang sudah berjalan untuk mengetahui efektivitas dan relevansi terhadap perubahan dan goncangan yang muncul di era yang super cepat serta pemerintah dituntut untuk mampu melakukan inovasi dan belajar dengan cepat untuk menjawab tantangan-tantangan baru dan mengeksploitasi peluang-peluang baru, yang berarti pemerintah harus mampu berpikir secara holistic dan lintas sektoral serta mampu menyeberangi batas-batas pemikiran tradisional untuk menghasilkan ide-ide baru dan kebijakan-kebijakan yang lebih praktis dan operasional.

“Sebuah tata kelola pemerintahan yang baik harus mampu menjamin tegaknya supremasi hokum, termasuk didalamnya partisipasi aktif masyrakat dan berorientasi pada consensus, terarah dan visi yang strategis, transparansi dan akuntabilitas, kesetaraan serta performa yang responsive, efektif dan efisien” ujarnya. (Humas Sumbar)

google+

linkedin