SEANDAINYA proklamator Republik Indonesia, Bung Hatta masih hidup, so pasti anak Ranah Minang ini akan bersedih dan menangis, Kenapa? Karena anak bangsa ini sendiri masih mau manut dan percaya dengan sistem ekonomi kapitalis yang liberal daripada melaksanakan sistem koperasi yang berlandaskan Pancasila dan Tertuang dalam Undang-undang 1945. Kenapa dan Ada Apa?

Jujur, saya bukan ahli ataupun pakar ekonomi, dan bukan pula praktisi koperasi. Tapi saya hanya pernah berteman dengan pakar ekonomi, yang guru besar di Fakultas Ekonomi Universitas Andlas Padang, almarhum Hendra Esmara dan pelaku koperasi almarhum, Abdul Kadir Usman, ketua Puskud dan Inkud Sumatera Barat. 

Khusus masalah koperasi, saya tak hanya mendapatkan banyak butiran ilmu, juga menyaksikan langsung bagaimana seorang Abdul Kadir Usman yang akrab dipanggil AKU menjalan usaha ekonomi melalui koperasi.

Kemudian, dari butiran ilmu tentang koperasi tersebut, saya dapat menyimpulkan, kalau koperasi itu merupakan gabungan dari beberapa individu untuk bekerjasama demi kesejahteraan bersama. 

Sedangkan kalau menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967, koperasi Indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial dan beranggotakan orang-orang, badan-badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Jadi, kalau kita berbicara koperasi, landasan idiilnya, Pancasila, landasan mentalnya, setia kawan dan kesadaran diri sendiri dan landasar sturktural dan gerak, yakni Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 1.

Perlu diingat dan dicamkan, kalau Bung Hatta menjelas dengan tegas logas, kalau koperasi tersebut punya peran dan peranan untuk meningkatkan tarah hidup sederhana masyarakat indonesia, mengembangkan demokrasi ekonomi dan mewujudkan pendapatan masyarakat yang adil dan merata dengan cara menyatukan, membina, dan mengembangkan setiap potensi yang ada.

Tegasnya, kalau pemerintah serius mendorong ekonomi rakyat, maka intinya ekonomi kerakyatan harus berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat. Maksudnya, ekonomi rakyat atau  usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan  dengan secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, sebagaimana program pemerintah memberdayakan Usaha Kecil dan Menegah (UKM),  terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan,  yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya.

Lantas timbul pertanyaan bagi saya tentang keberadaan Minang Mart, yang menimbulkan berbagai polimik, di media sosial dan media eloktronik televisi dan media cetak. 

Sebagai seorang wartawan, saya setuju dengan pemikiran Novermal Yuska (baca Catatan Novermal Yuska di Tabloid Bijak.Com)- yang menegaskan keberadaan Minang Mart bukan program Gubernur Sumbar, tapi bisnis to bisnis.

Kemudian, saya juga setuju juga degan sikap puluhan anggota FLORSB yang menyampaikan aspirasinya ke DPRD Sumbar. Para pedagang ritel dan grosir itu diterima langsung oleh Ketua DPRD Sumbar Hendra Irwan Rahim yang didampingi Wakil Ketua Guspardi Gaus, Ketua Komisi II Rizanto Algamar, Ketua Komisi III Iswandi Latief, Anggota Komisi III Albert Indra Lukman dan Sekwan Raflis di ruang rapat komisi.

Para pedagang ritel dan grosir tersebut menolak keberadaan Minang Mart, karena dinilai sudah keluar dari konsep awal.  Alasannya, karena dulu dikatakan Minang Mart akan dikelola oleh tiga BUMD, yakni PT Grafika Jaya Sumbar sebagai operator dan Bank Nagari pemberi modal serta Jamkrida sebagai penjamin pinjaman. Tapi kini, kenyataannya kini malah dikelola oleh PT Ritel Moderen Minang (PT RMM).

Tanpa bermaksud mencikaraui atau menggurui, keberadaan Minang Mart memang perlu diperbaharui landasan pemikiran pendiriannya. Kenapa? Kalau setiap usaha ekonomi masih bekerjasama dengan bank, jawabannya, pasti kapitalis dan new liberal? Soalnya sistem Bank di Indonesia masih menerapkan sistem Kapitalis.

Jadi kini alangkah eloknya, kalau Minang Mart keberadaannya berlandasan koperasi, sebagai salah satu kekuataan ekonomi kerakyatan. Tegasnya, koperasi bukan milik manajemen, atau para konglomerat,  tapi milik anggota koperasi.

Kemudian, perlu dipahami, ulu dan ilir dari prodak yang dijual di Minang Mart, harus dikuasai dan buan menjadi kudo pelajang bukit dari para konglomerat yang sok-sok pro rakyat, padahal menghisap darah rakyat. Semoga (Penulis wartawan Tabloidbijak dan padangpos.com) 

google+

linkedin