Keterangan foto: Teguh Santosa di Pyongyang pada bulan Desember 2016.

BIJAK ONLINE (JAKARTA)-Peluang perbaikan hubungan antara Korea Selatan dan Korea Utara kembali terbuka setelah Moon Jae-in dari Partai Demokrat Korea memenangkan pemilihan presiden Korea Selatan. 

Moon Jae-in dan partai yang dipimpinnya memiliki pendektan yang berbeda terkait hubungan dengan Korea Utara dibandingkan pendahulunya, Park Geun-hye dari Partai Saenuri yang konservatif. 

Demikian dikatakan Sekjen Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea, Teguh Santosa, yang juga dosen politik Asia Timur di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, dalam keterangan yang diterima redaksi.

Teguh yang mengamati isu Semenanjung Korea dari dekat mengatakan bahwa pendekatan Moon Jae-in dan Partai Demokrat yang sebelumnya bernama Aliansi Politik Baru untuk Demokrasi dalam isu Korea Utara kurang lebih sama dengan pendekatan yang dimiliki dua presiden Korea sebelumnya, Kim Dae-jung yang berkuasa dari tahun 1998 hingga 2003 dan Roh Moo-hyun yang berkuasa dari tahun 2003 hingga 2008. 

Ketika berkuasa, Kim Dae-jung tak sungkan mengunjungi Pyongyang dan bertemu dengan pemimpin tertinggi Korea Utara ketika itu, Kim Jong Il, yang merupakan ayah dari pemimpin tertinggi Korea Utara kini, Kim Jong Un. 

Di dalam pertemuan itu, keduanya menandatangani kesepakatan yang kelak dikenal sebagai Deklarasi Bersama Utara-Selatan yang ditandatangani tanggal 15 Juni 2000. 

“Deklarasi itu secara khusus membahas peluang penyatuan kembali kedua negara. Korea Utara menawarkan federasi pada level yang rendah, sementara Korea Selatan menawarkan bentuk persemakmuran. Kedua alternatif ini yang disepakati sebagai arah dari pembicaraan reunifikasi di masa depan,” ujar Teguh Santosa. 

Deklarasi Bersama Utara-Selatan 15 Juni, masih kata Teguh, dijiwai oleh pernyataan sikap bersama yang ditandatangani pada 4 Juli 1972. 

“Di era itu, pemimpin Korea Selatan dan Korea Utara sepakat bahwa pembicaraan unifikasi atau reunifikasi harus dilakukan melalui upaya independen bangsa Korea, tanpa keterlibatan kekuatan asing,” sambung Teguh.

Ketika itu Korea Utara dipimpin oleh Kim Il Sung, sementara Korea Selatan dipimpin oleh Park Chng-hee yang merupakan ayah dari mantan presiden Korea Selatan Park Geun-hye. 

Setelah Deklarasi Bersama Utara-Selatan 15 Juni, kedua Korea sepakat untuk mengerjakan proyek kawasan industri Kaesong di Korea Utara. Di kawasan itu, perusahaan-perusahaan Korea Selatan beroperasi, sementara pekerjanya berasal dari Korea Utara. 

Namun hubungan baik ini terhenti setelah Korea Utara menarik diri dari Pembicaraan Enam Pihak atau Six Party Talk pada tahun 2009. Ketika itu Korea Selatan dipimpin oleh Lee Myung-bak yang berasal dari partai konservatif Saenuri. Korea Utara merasa pembicaraan damai tak perlu dilanjutkan karena di saat bersamaan Korea Selatan dan Amerika Serikat tetap memberikan tekanan melalui berbagai cara, termasuk latihan perang di kawasan perbatasan.

“Saya berharap pemimpin di kedua negara bersedia mengesampingkan hal-hal yang selama ini menghalang-halangi pembicaraan damai di Semenanjung Korea. Korea Utara ingin pembicaraan reunifikasi hanya dilakukan oleh bangsa Korea tanpa melibatkan external power, termasuk Amerika Serikat. Sementara Korea Selatan meminta Korea Utara tidak meningkatkan kapasitas nuklir,” Teguh menjelaskan.

Peran Amerika Serikat dan China

Menurut Teguh, sejatinya ketegangan di kawasan Asia Timur saat ini lebih dipicu oleh kebangkitan ekonomi dan militer Republik Rakyat China (RRC). Bagi Amerika Serikat, China merupakan ancaman yang jelas di depan mata, dan berpeluang besar besar mencuri dominasi di Asia Timur dan Pasifik. 

Dari perspektif ini, Amerika Serikat tampaknya juga mempertimbangkan langkah yang lebih bersahabat dengan Korea Utara dalam rangka melimitasi dominasi China di Asia Timur. 

“Tetapi untuk hal ini, Amerika Serikat tentu perlu mempertimbangkan baik-baik keinginan Korea Utara. Bila memang ingin memperkuat basis di Asia Timur dalam rangka menghadapi China, Amerika Serikat perlu mengembangkan pendekatan yang berbeda,” masih kata Teguh. 

Dia mengatakan, Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump yang sulit ditebak kelihatannya juga memikirkan hal itu. Pernyataan-pernyataan Trump belakangan ini walau masih samar-samar dan perlu dibaca dengan lebih teliti, agaknya bisa dianggap sebagai petanda ke arah yang lebih bersahabat. 

“Memang agak bersayap, tapi saya kira pernyataan bahwa Trump merasa terhormat bila bertemu Kim Jong Un dan juga pujiannya pada Kim Jong Un sebagai pemimpin muda yang berhasil, patut kita pertimbangkan lagi sebagai penanda lanskap baru politik Asia Timur,” demikian Teguh Santosa. ***

google+

linkedin