Kalimat "Malin Kundang bukan anak durhaka" itu betul-betul mengganggu fikiran saya, sepertinya Ery Mefri begitu berani menantang arus, tidak sepakat dengan legenda yang telah lengket di memori orang Minang, malah sudah mendunia.  Pikiran-pikiran liar pun makin berpacu datang.  Ujung-ujungnya, saya sepakat dengan Ery Mefri. Legenda Malin Kundang ini sangat tidak mencerminkan karakter dan budaya Minangkabau, bahkan amat naif, karena mencuatkan stigma buruk tentang seorang yang menyandang nama "Malin", nama yang biasa dilengketkan kepada figur ulama___"Urang 4 Jinih" dalam tatanan kepemimpinan di Minangkabau. Prediket Malin diposisikan sebagai si Pendurhaka oleh si empunya legenda Malin Kundang.   Bagi saya, si penulis kaba Malin Kundang ini lebih besar KEDURHAKAANNYA, karena telah menjungkir-balikkan nilai-nilai luhur dari kebudayaan Minangkabau.Memang, apalah arti sebuah nama !

Namun, Pangulu, Manti, Malin, dan Dubalang adalah posisi-posisi terhormat dalam tatanan masyarakat Minangkabau. Malin salah seorang pembantu penghulu dalam bidang agama. Yulizar Yunus mencatatkan tugas Malin, mulai dari pengajaran mengaji, tata cara pelaksanaan Rukun Islam, termasuk menunjuk-mengajari anak kemenakan-anak nagari, agar  berakhlak dan mengarahkan mereka ke jalan yang lurus dan diredhai oleh Allah swt. Tugas Malin ini dibantu “urang jinih nan ampek” yakni: (1) imam, (2) katik, (3) bila dan (4) qadhi.

Dengan demikian, seseorang yang menyandang nama Malin, meskipun tokoh dalam cerita anak durhaka ini, boleh jadi masih remaja atau walaupun Ia tidak menyandang posisi "Urang 4 Jinih", akan tetapi anak Mandeh Rubayah dalam legenda terkenal itu, diyakini seseorang yang kuat agamanya, berakhlak mulia dan tauladan dalam masyarakat Air Manis tempo doeloe.  Di zaman "balun barabalun" tersebut, prediket Panghulu, Malin, Manti, dan Dubalang itu adalah simbol, tauladan dan panutan, sehingga sangat dihormati.
Oleh karena itu, amat tidak mungkin simbol itu dijadikan objek gurauan atau canda.  Plesetan plesetan melecehkan itu hanya terjadi dalam era yang filosofi ABS-SBK-nya mulai tergerus, dan telah "lakang dek paneh", sehingga kita bisa mendengar istilah Datuak Maringgih, Datuak Dalu-Datuak Cabiak, Malin Kacindin, Malindangan, atau plesetan Dubalang Gagok dan Mantiko Zirit.   Artinya, si KUNDANG yang berprediket "Malin" dalam legenda si Malin Kundang dalam settingan waktu cerita ini dibuat adalah anak baik, yang kuat agamanya, bukan Calon si Pendurhaka setelah sukses di perantauan.

Apa artinya KUNDANG?
Dalam kamus Bahasa Indonesia, kundang artinya disayang, dimanja, atau selalu dibawa kemana-mana.  Dalam pergaulan sehari-hari sering kita mendengar ungkapan: "itu se nan nyo kundang-kundang ee kama pai".   Nah, ketika Kundang itu berarti "disayang-dimanja", maka implikasinya tentu ikatan batin antara ibu dan anak, antara si "Malin" Kundang dengan Mandeh Rubbayah, ibunya, pastilah luar biasa kuat dan ihklas, yang perwujudannya: "Tak mungkin pernah ada kedurhakaan seorang anak atau sumpah seorang ibu"

Legenda Malin Kundang ini melenceng dari falsafah hidup Minangkabau.

Merantau adalah pilar kedua dari peri kehidupan orang Minang.  Pilar pertama, Matrilini, pilar ketiga ABS-SBK.  Matrinili menyebabkan laki-laki Minangkabau, selain mamak, sebagai pengatur dan penguasa, tidak memiliki "sociologic capital". Tempo doeloe, profesi utama penduduk bertani, dimana "sawah atau ladang" merupakan modal satu-satunya dalam sistem produksi.  Dampaknya apa ?

Laki-laki yang tak memiliki modal dasar tadi, sebagian besar akan berprofesi sebagai buruh tani, pengangguran, atau orang suruhan dalam nagari. Itulah yang disiasati oleh sebagian besar laki laki Minang tempo doeloe, boleh jadi bersama istrinya, ketika tak memiliki aset untuk bergerak di hulu, maka mereka bergerak di sektor hilir: Teknologi pangan !  Tidak memiliki modal dasar__sawah ladang, bukanlah kiamat, kata mereka membatin.  Kelompok yang tak berpunya ini, sebagai dampak positif dari Matrilini, pada gilirannya berkembang sebagai produsen aneka kuliner dan penganan terhebat di dunia. "Indak basawah, indaklah. Den bali padi jo sipuluik Ang tu. Den buek katan, singgang, batiah, karak kaliang, kue sangko, paniaram.  Indak bajawi, indaklah. Den bali dagiang Ang, den buek kalio, dendeang, jo randang".   Fenomena "kok indak-indaklah" inilah yang menyebabkan Minangkabau tak susah melahirkan pencipta aneka kuliner terkenal dunia dan saudagar-saudagar hebat, yang mampu memposisikan si Miskin terzolimi "dulu" menjadi Orang Terpandang "baru" yang disegani.

Pilar kedua, Merantau.
Merantau selalu dipicu oleh dendam sosial, terutama dalam kasus "tempo doeloe". Merantau merupakan skenario satu-satunya untuk merubah nasib, terutama karena tersakiti,  tak tega melihat orang tua "mangakeh" di sawah-di ladang orang.  Kadang-kadang terhina dan terzalimi, akibat bernasib sebagai orang tak berpunya. Adakalanya pacar disunting oleh anak orang kaya.

Jadi merantau adalah sebuah keterpaksaan kondisional,____mereka harus pergi, meskipun "di rumah paguno balun".  Boleh jadi, perpisahan meninggalkan kampung halaman itu diiringi oleh isak tangis, karena entah kapan bisa bertemu kembali. Akan tetapi, di setiap langkah perantauannya, yang selalu "di-kundang-kundangnya" siang malam adalah tekad kuat "Mambangkik Batang Tarandam", untuk mengangkat status sosial orang tuanya di kampung.  Yang selalu dikundang-kundangnya itu adalah pilar ketiga, ABS-SBK, pilar yang dipegang erat oleh seorang "Malin" bahwa sukses yang mapan itu selalu terkait dengan kejujuran (amin, amanah) dan keuletan, serta doa-doa orang tua.

Itulah yang dipertontonkan oleh orang Piaman, sampai sekitar tahun 1970-an. Pertanda sukses seorang anak di rantau, diketahui dari berangsur-angsur tampaknya pondasi tagak di kampung, berikutnya sekamar-dua kamar berdiri, selanjutnya bangunan tanpa dapur muncul, meskipun bertahun tidak ditempati.  Tanda sukses muncul di kampung, meskipun di rantau, si bujang anak Mandeh ini pontang panting mencari makan, berpakaian lusuh setiap hari.

Dalam kontek legenda Malin Kundang ini, juga ada satu hal penting yang dilupakan si empunya Kaba ini.  Sukses anak dirantau hampir tak pernah luput dari doa ihklas seorang ibu, yang setiap selesai shalat mendoakan anaknya, agar selalu dalam lindungan Allah.  Dan, banyak kasus membuktikan kepada kita bahwa tokoh-tokoh sukses itu selalu dekat, santun, hormat dan menyayang ibunya melebihi kasihnya kepada siapapun, kecuali Allah. Dan, yang perlu kita catatkan, bahwa budaya Minangkabau tidak pernah melahirkan "IBU PENYUMPAH".  Filosofi Minangkabau mengajarkan setiap orang tua Minangkabau untuk terbiasa berhati ihklas dan siap untuk tidak atau kurang terperhatikan secara penuh oleh anak dan minantunya.  Itulah rahasianya, kenapa anak laki-laki Minang kalau sudah berumah-tangga, tidak tinggal di rumah orang tuanya.  Berbeda dengan budaya Batak dan sebagian besar masyarakat Hindu di India, anak laki-laki membawa istrinya ke rumah orang tuanya.

Konklusi dari bedah kaba Malin Kundang yang sudah terkenal itu apa?

Pertama, kisah Malin Kundang ini tidak berlatar dari peri kehidupan etnik Minang, yang paling tidak dilandasi oleh 3 pilar, yakni Matrilini, Merantau, dan ABS-SBK. Boleh jadi, diangkat dari kisah sebuah keluarga etnik non Minang yang tinggal di sekitar Air Manis atau Muaro Padang. Barangkali juga, seorang kerabat si empunya Kaba.

"Malin Kundang bukan anak durhaka".
Itu kalimat Ery Mefri, maestro tari Minang berklas internasional, ketika menjelaskan rencana tari kolosalnya yang berjudul Malin Kundang, serta kaitannya dengan permintaan nya menggunakan lagu saya RILAKAN NAN TAMAKAN, sebagai latar tarinya. Lagu ini cocok dengan cerita Malin Kundang, kata  Ery Mefri. Saya diminta merancang skenario musiknya dengan guru SMKI, Chon, yang kebetulan ikut bertandang ke rumah saya.


Kedua, hadirnya stigma buruk, bahwa Minangkabau, ternyata bukan hanya hebat sebagai negeri produsen ulama dan cendikiawan, akan tetapi juga negeri Malin Kundang.  Itu pikiran orang ! Celakanya, stigma buruk ini diperkuat pula secara berjamaah.  Kaba Malin Kundang ini sudah diviralkan oleh berbagai media, ditulis dalam buku-buku sekolah, difilmkan, diciptakan lagunya dan direkam, serta dipentaskan beberapa kali oleh budayawan terkenal, bahkan makin diperkuat keberadaannya oleh pematung hebat, untuk meyakinkan bahwa batu Malin Kundang itu betul betul kisah nyata.   Batu-batu yang semula belum begitu jelas wujudnya di awal tahun 1980-an, kemudian dipermak makin mirip manusia, tali kapal, dan bangkai kapal.  Kok kapal dan tali kapal kena kutuk juga ?.  Ada ada saja!   


Foto Malin Kundang menjadi batu di pantai Air Manis.

Ketiga, ada beban moral yang mesti disandang oleh seorang pengarang, beban yang sering tak disadarinya ketika menulis kaba atau roman. Karyanya, ketika disebut sebagai fiksi tak akan menjadi masalah.  Akan tetapi, ketika sebuah karya itu berlatar settingan budaya, maka persoalannya menjadi tidak sederhana, apalagi apabila karyanya itu menjadi legenda dan "Master Piece".

Nah, kembali ke pokok bahasan, kenapa mesti muncul pemahaman baru dan gagal paham kami terhadap kaba Malin Kundang ini.  Bagi Ery Mefri, Ia lebih yakin "Malin Kundang itu bukan durhaka".  Bagi saya, legenda tersebut tidak berakar dari filosofi Minangkabau. Itulah sebabnya saya coba mengusulkan tambahan judul dari semula: MALIN KUNDANG, Si Pinyangek Siso Api, menjadi MALIN KUNDANG MINANG, Si Pinyangek Siso Api. Buat saya, si Malin yang merantau itu, mestinya si Malin yang tetap menggenggam erat pilar keminangkabauan, pilar yang tidak menghadirkan Ibu Penyumpah.  Saya kaget, karena Ery Mefri setuju dengan tambahan kata Minang itu. Kaget, karena ternyata koregrafer hebat ini,  juga akomodatif dan tak arogan.

Yang menarik, ketika saya menanyakan apa maksudnya Si Pinyangek Siso Api !

Si Pinyangek itu, kita-kita seniman ini, yang bernasib sering dilecehkan, dianggap tak ada gunanya, meskipun seringkali mereka berperan memperhebat citra dan prestise Minang. Nah, melalui sisa-sisa kekuatan seni kita, kita coba berbuat membuka mata banyak orang. Yang sedang kita lakukan ini adalah merubah dan meluruskan sebuah gagal faham si empunya cerita tentang budaya Minangkabau.  Nah, tema inti dari Tari Kolosal Ery Mefri ini adalah kepulangan Malin Kundang dari rantau mempersembahkan suksesnya kepada sang ibu dalam mambangkik batang tarandam.

Saya menterjemahkan Si Pinyangek Siso Api ini dari perspektif lain, meskipun disinan juo gandang itu babunyi.  Malin Kundang versi aslinya memang telah dibuah-bibirkan oleh para PANYANGEK BARAPI tempo dulu, mulai dari si pengarang kaba, si penulis buku sekolahan yang memasukkan kaba Malin Kundang dalam bahan ajar, si pencipta lagu (Yas Selo) dan penyanyi Malin Kundang (Oslan Hosen), budayawan dan praktisi teater dan film, termasuk si Pematung hebat Batu Malin Kundang, maka sisa-sisa api yang masih tersimpan dalam diri si Pinyangek 2017 ini, masih coba "Mamantak dengan siso-siso biso" dalam legenda Malin Kundang versi baru, "the edited version" yang lebih berfilosofi ke peri kehidupan Minangkabau.  Karenanya, saya terpaksa merubah lirik dan judul lagu Rilakan Nan Tamakan yang menjadi latar musik Tari Ery Mefri berdurasi 25 menit ini menjadi lagu berjudul MALIN KUNDANG MINANG (Agus Taher).

google+

linkedin