Quota 30 persen. Kalimat ini menjadi seperti sebuah jembatan emas untuk perempuan melenggang ke panggung politik, ditambah dengan berbagai peraturan perundangan lainnya yang seakan-akan ingin memberikan kesempatan yang begitu luas bagi perempuan untuk bisa berperan lebih besar dalam kancah perpolitikan Indonesia.

Logikanya ketika kesempatan yangg sudah dibuka selebar-lebarnya seharusnya berbanding lurus dengan banyaknya jumlah perempuan yg berhasil memasuki panggung politik.

Akan tetapi fakta yg terjadi jauh panggag dari api. Bila kita bicara tentang panggung perpolitikan KAB SOLOK dari 35 kursi DPRD yang tersedia hanya 3 kursi yang mampu di raih perempuan, padahal fakta jumlah pemilih di kab solok pada pileg 2014, pemilih perempuan lebih banyak daripada pemilih laki-laki. Apa sebenarnya yang terjadi disin, mengapa faktanya seperti ini?
Kalau ini bisa diartikan sebagai sebuah kesalahan dimana letak kesalahannya? apa pemicunya? apa yg harus dilakukan untuk bisa membenahinya?

Pertanyaan-pertanyaan ini menggelayuti pikiran banyak pihak. Dalam sebuah kesempatan di acara "Peningkatan Kapasitas Perempuan di Bidang Politik" oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan Kab Solok Tanggal 6 sd 8 September 2017 lalu di Fave Hotel Padang, salah satu peserta yang adalah kader perempuan partai politik yg akan maju bertarung di pileg 2019 nanti mengajukan sebuah pertanyaan menarik di sesi dialog bersama Kabid pemberdayaan perempuan."Kenapa pemilih perempuan tidak memilih caleg perempuan?"

Pertanyaan ini menarik karna bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Dari sudut pandang para caleg perempuan, pemilih perempuan dan masyarakat umum.

Dari sudut pandang caleg perempuan tentu penuh pertanyaan kenapa tidak pilih kami, kita kan sama-sama perempuan?

Dari sudut pandang pemilih perempuan mgkn akan dijawab dengan bentuk pertanyaan lagi, mengapa kami harus pilih caleg perempuan?

Dari sudut pandang masyarakat umum, mengapa dari begitu banyak pemilih perempuan hanya sangat sedikit saja caleg perempuan yang terpilih?

Mungkin permasalahan ini tidaklah sesederhana yg terlihat. Ketika seorang pemilih perempuan tidak memilih caleg perempuan bisa jadi dipengaruhi beberapa faktor. Faktor yg utama tentu saja kekurangan pahaman mereka tentang perlunya dan manfaat mereka memilih caleg perempuan, mereka tidak paham bahwa dengan berimbangnya perwakilan perempuan di legislatif tentu akan mampu membantu penyerapan aspirasi mereka sebagai perempuan karna seyogyanya yang mengerti dinamika dan problematika perempuan tentulah perempuan juga atau malah sebaliknya, para caleg perempuan sendiri yang belum mampu mensosialisasi dan meyakinkan pemilih bahwa mereka layak dan perlu untuk dipilih.

Memang masih perlu waktu dan proses yg cukup panjang dalam mencari penyelarasan permasalahan ini. Masalah ini penting mengingat keterwakilan dan terserapnya aspirasi perempuan tentu akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan peranan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan dan pembangunan daerah. Ini adalah tantangan besar yang menunggu para perempuan yang akan bertarung dalam kontestasi politik 2019 nanti. Juga merupakan sebuah pekerjaan rumah bagi dinas terkait dalam hal ini pemberdayaan perempuan untuk mampu mendorong dan mengedukasi masyarakat pemilih perempuan untuk memahaminya. Semoga ke depannya kab Solok mampu mengurai benang merah permasalahan ini dan keterwakilan perempuan di panggung politik kab Solok makin berimbang.** (Penulis adalah Aktivis Organisasi Kemasyarakat di Kab. Solok).

google+

linkedin