Demonstrasi menolak pembangunan Proyek Energi Panas Bumi (Geothermal) Senin, 2 Oktober 2017 di Komplek Kantor Bupati Solok di Arosuka berakhir ricuh. Situasi sempat memanas, walau akhirnya aparat keamanan tetap bisa mengendalikan situasi. Namun demikian tulisan ini tidak akan membahas mengenai teknis demo yang terjadi siang tadi itu.

Dengan tidak bermaksud memihak dan menghakimi pihak manapun, penulis hanya ingin mengajak kita untuk melihat situasi ini dari sudut pandang yang netral.

Banyak kita mendengar keluhan klasik yang terdengar dalam keseharian masyarakat Kabupaten Solok. Ekonomi payah, dagang kurang laku, bisnis ini itu terkesan macet. Tidak perlu pemikiran setingkat strata dua atau analisis melalui penelitian yang mendalam untuk menebak apa penyebab situasi ini. Pemikiran sekelas orang awam pun paham biang masalah nya adalah begitu sedikit uang yang berputar melalui sebuah proses ekonomi di Kabupaten Solok.

Sedikitnya pendapatan asli daerah (PAD) juga digadang gadang sebagai penyebab lambatnya pertumbuhan ekonomi di wilayah ini .

Terlepas dari benar atau tidaknya teori-teori di atas dan tidak penting juga untuk mencari siapa yang patut dipersalahkan atas situasi ini yang jelas ekonomi di Kabupaten solok secara umum bisa dikatakan sulit.

Lalu tiba-tiba mencuat kabar bahwa potensi panas bumi dari Gunung Talang ternyata optimal dan bisa didayagunakan. Kenyataan ini entah rahmat dari yang maha kuasa sebagai jawaban doa-doa kita, atau malah cobaan baru untuk kehidupan masyarakat. Karena seketika dia langsung menjadi primadona polemik di Kabupaten Solok.

Kalau dibawa ke pola pemikiran yang sederhana, masuknya sebuah mega proyek seperti itu ke suatu wilayah biasanya akan membawa perkembangan ekonomi. Kita runut dari yang paling sederhana.

Ketika sebuah proyek dibangun akan melibatkan banyak kontraktor dengan perjanjian tertentu yang harus melibatkan kontraktor lokal, ini sudah jelas menggerakkan satu sektor perekonomian.

Selama kontraktor menjalankan proyeknya tidak lepas dari menggunakan tenaga kerja. Sekali lagi dengan sebuah perencanaan yang matang, melibatkan tenaga kerja lokal akan membuka lapangan kerja. Satu lagi "PR" perekonomian tadi terselesaikan.

Selama proyek berjalan,tenaga kerja punya banyak sekali kebutuhan salah satunya kebutuhan makan. Dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai mitra penyedia makanan, satu lagi peluang ekonomi terbuka.

Selanjutnya proses proyek berlanjut akan semakin bertumbuh peluang demi peluang ekonomi berikutnya yang tentu saja dengan kejelian akan menjadi milik masyarakat yang paling dekat dengan lokasi proyek.

Sebut saja ketika nanti akan dibuka kantor-kantor pengelola tentu akan membuka lapangan kerja. Bahkan bisa setingkat lebih tinggi, sebut saja bagaimana perusahaan Danone yang memproduksi Aqua di Arosuka yang akhirnya memberi kesempatan kepada putra Nagari Batang Barus untuk mendirikan sebuah perseroan terbatas untuk mengelola tenaga cleaning service dan pertamanannya.

Tentu saja semua proses ini tidak boleh lepas dari pengawasan pihak terkait dan dikawal secara bijak oleh masyarakat sekitar, mulai dari analisis dampak lingkungan dari proyek ini sehingga tidak menimbulkan berbagai kekhawatiran.

Semua penilaian tentu haruslah teruji melalui fakta, bukan sekedar opini. Sehingga kita tidak terjebak di dalam opini itu sendiri.

Kita memimpikan sebuah kemajuan. Kemajuan hanya bisa diperoleh melalui proses perubahan. Proses perubahan selalu mengandung unsur resiko. Hanya saja kita harus mampu mempertimbangkan dan memberi batas toleransi pada unsur resiko ini.sebesar apa presentase resiko yang bisa kita toleransi untuk mendapatkan perubahan menuju kemajuan yang diidamkan.-** (Penulis adalah Aktivis Ormas Pemuda Pancasila Kabupaten Solok)







google+

linkedin