HEBAT  karena bermanfaat bagi masyarakat. Begitulah kira-kira gambaran tentang ide dari  Penanggung jawab  HPN  2018, H. Margiono yang juga Ketua Umum PWI Pusat. Kenapa dikatakan hebat? Karena di Hari Pers Nasional (HPN) 2018 ini ada kegiatan bakti sosial di bidang kesehatan masyarakat. Maksudnya, PWI Pusat yang bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat memberikan pelayanan kesehatan secara gratis kepada masyarakat. 

Bakti sosial berupa layanan kesehatan gratis ini diselenggarakan pantia Hari Pers Nasional (HPN) yang bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat, Dinas Kesehatan Kota Padang, Yayasan Jantung, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan,  Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), RSUP Dr M Jamil, Artha Graha Peduli, PWI Sumatera Barat, dan diback-up jajaran Korem 032/ Wirabraja.

Khusus untuk Kabupaten Kepulauan Mentawai,  7 Februari 2018 men datang ada layanan Kesehatan gratis, disertai pemberian bantuan pendidikan dan peletakan batu pertama pembangunan rumah penampungan anak cacat oleh Artha Graha Peduli.

Pemilihan Kepulauan Mentawai sebagai salah satu pelayanan kesehatan gratis di HPN 2018 ini patut juga dipuji. Kenapa? Karena  masyarakat Kepulauan Mentawai harus mengeluarkan biaya tak sedikit untuk berobat. Persoalan itu terjadi karena masih belum memadainya sarana dan tenaga kesehatan di kabupaten yang berdiri sejak 1999 ini.

Sebagai contoh, seperti yang diberikan Mentawaikita.com. Didalam berita disebutkan, Jeko Parulian, warga Desa Saumanganya, Pulau Pagai Utara, terpaksa menyeberangi laut ke Pulau Sipora selama sekira lima jam untuk mengobati orangtuanya karena sakit prostat ke RSUD Mentawai. Dengan perahu mesin tempel, mereka bertolak ke Sikakap, yang biaya BBM-nya sekitar Rp 1,2 juta. Dari Sikakap, Jeko dan ayahnya naik kapal perintis ke Tuapeijat. Jadi meskipun berobat gratis karena ada BPJS, namun biaya transportasi menyeberangi pulau ditambah biaya penginapan dan makan. 

Jeko dan pasien-pasien lainnya di Mentawai memang harus menempuh jalan panjang untuk mendapat layanan rumah sakit. Sebab, daerah kepulauan yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia itu hanya punya satu rumah sakit, yaitu RSUD Mentawai di Pulau Sipora. Praktis, pasien dari pulau lain seperti Siberut, Pagai Utara dan Pagai Selatan, harus menempuh jalur laut untuk ke RSUD Mentawai atau ke Kota Padang, ibukota Provinsi Sumatera Barat.

Biaya yang dibutuhkan, terutama transportasi, tak bisa dibilang murah. Jika pasien dibawa menggunakan kapal ASDP, dengan jarak tempuh 12 jam ke Padang, biayanya berkisar Rp150 ribu hingga Rp190 ribu per orang. Jika naik kapal cepat Mentawai Fast dari Siberut atau Sipora, biayanya Rp250 ribu per orang, atau Rp300 ribu jika dari Sikakap. Jika naik boat atau perahu bermesin tempel, biayanya jauh lebih mahal, bisa mencapai Rp7-10 juta sekali jalan. Untuk pasien dirujuk ke RSUD Mentawai, biasanya naik kapal antar pulau dari Siberut atau Pagai menuju Sipora, ongkosnya berkisar Rp50 ribu.

Pengalaman Jeko Parulian merupakan salah satu contoh memprihatinkan pelayanan kesehatan di Kepulauan Mentawai, satu dari 19 kabupaten dan kota di Sumatera Barat. Daerah ini menjadi kabupaten sejak 1999. Kabupaten yang dibentuk berdasarkan Undang Undang Nomor 49 Tahun 1999 ini terdiri dari 4 kelompok pulau utama yang berpenghuni, yaitu Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara dan Pulau Pagai Selatan.

Sejak menjadi kabupaten, pemerintah daerahnya terus berbenah melengkapi infrastruktur kesehatan. Kini setiap kecamatan sudah memiliki puskesmas, bahkan di dua kecamatan, punya dua puskesmas yakni Pagai Selatan dan Sipora Selatan. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Mentawai, jumlah puskesmas saat ini ada 12 unit, ditambah puskesmas pembantu (pustu) 23 unit, pos kesehatan desa (poskedes) 99 unit dan pondok bersalin desa 39 unit.

Tak hanya sarana layanan kesehatan, tenaga medis juga bertambah. Jumlah dokter umum saat ini 25 orang, bidan 239 orang dan perawat 329 orang. Namun jumlah ini tentu masih sedikit jika dibanding jumlah dokter di kabupaten lain di daratan Sumatera Barat, misalnya Dharmasraya. Kabupaten yang berusia lebih muda dari Mentawai ini memiliki 9 dokter spesialis, 46 dokter umum dan 20 dokter gigi.

Namun, jumlah sarana dan tenaga kesehatan ini dinilai masih belum memadai untuk melayani warga yang tinggal di area seluas 6.011 km itu. Juga belum bisa mengimbangi pertumbuhan penduduknya yang berkisar rata-rata 2 persen per tahun. Menurut data Badan Pusat Statistik Sumatera Barat, penduduk Mentawai pada tahun 2016 sebanyak 86.891 jiwa.

Minimnya layanan kesehatan di Mentawai juga terpotret dari seringnya kematian ibu melahirkan. Dokter spesialis kebidanan dan kandungan di RSUD Mentawai, dr. Chandra mengatakan, angka kematian ibu melahirkan dan anak di Mentawai seperti gunung es. Kata dr Chandra, sejak Januari hingga September 2017, tercatat lima ibu melahirkan meninggal dunia. Tiga pendarahan dan dua eklampsia atau disebut juga mengalami kejang-kejang.

Data dari lima pasien yang meninggal tersebut berasal dari Tuapeijat, Sioban, Katiet, Saumanganya dan Siberut. Tragisnya, ada yang meninggal di perjalanan dan ada juga yang sudah sampai RSUD, namun dalam keadaan kritis.

Ironisnya, di tengah tingginya angka kematian ibu melahirkan di Mentawai, anggaran terkait soal ini cenderung turun. Dalam APBD Mentawai, jumlahnya justru kian menurun selama tiga tahun terakhir. Pada tahun 2014 anggarannya Rp256,3 juta. Tahun berikutnya mengalami penurunan, menjadi Rp140,9 juta di tahun 2015 dan Rp112,6 juta pada 2016.

Harapan kita di Hari Pers Nasional 2018 ini, semoga kunjungan ke Mentawai tak hanya sekedar memberikan pelayanan gratis untuk satu hari saja. Tapi yang lebih penting bagaimana  caranya meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat Mentawai untuk masa yang akan datang. Bagaimanapun juga, Kepulauan Mentawai bagian dari Sumatera Barat dan negara Republik Indonesia ini. Hendaknya duka Mentawai juga duka kita. Selamat HPN 2018. (Penulis wartawan tabloidbijak.com dan padangpos.com)  

google+

linkedin