TABLOIDBIJAK.COM (Padang Pariaman)— Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Padang Pariaman, Peringati Upacara 17 Agustus 2017 di lokasi pembunuhan, 40 orang anggota TRI/TNI, pemuda pejuang kemerdekaan dan penduduk lainnya dari Nagari Sintuak Tobohgadang, Pakandangan, Kototinggi, Pauhkamba, Bintungantinggi dan sekitarnya oleh Tantara Belanda. Peristiwa tersebut terjadi pada Selasa 7 Juni 1949, yang dilakukan oleh serdadu Belanda.
Pembina Upacara Peringatan HUT RI ke-72, Ketua GP Ansor Padang Pariaman Zeki Aliwardana, dalam amanatnya menyebutkan, pelaksanaan upacara peringatan hari Kemerdekaan RI ke-72 ini sengaja diselenggarakan di lokasi pembunuhan keji oleh tentara Belanda kepada TRI/TNI dan rakyat untuk mengenang peristiwa yang dikenal dengan tragedi surau Batu Sintuak. Karena eksekusi pembunuhan tersebut dilakukan di dekat surau Batu, persisnya di pinggiran sungai Batang Tapakih.
”Pelaksanaan upacara ini melibatkan mahasiswa KKN dari Universitas Taman Siswa, Santri Pesantren Nurul Yaqin Aswaja Padang Nonang, Nagari Lareh Nan Panjang Kecamatan VII Koto, Ketua PK KNPI Sintuak Toboh Gadang Radelka Adki, Walikorong Simpang Tiga Arwin, Ketua Pemuda Affandi Herdi Kusuma, dan masyarakat. Kita ingin mengingat semua pihak bahwa di lokasi ini pernah terjadi pembunuhan puluhan orang akibat mempertahankan kemerdekaan RI dari serangan tentara Belada,” kata Zeki Aliwardana.
Menurut Zeki, upacara di lokasi ini merupakan yang pertama kali dilaksanakan. Mudah-mudahan dengan pelaksanaan upacara ini, mengingatkan kita terhadap peristiwa tragis tersebut.
Zeki Aliwardana sangat prihatin tidak adanya kepedulian pihak terkait terhadap pembangunan tugu yang dibangun untuk mengenang peristiwa tragis tersebut. Hingga kini masih terbengkalai dan dipenuhi semak belukar. Karena dilaksanakan upacara peringatan 17 Agustus, lokasinya dibersihkan,” kata Zeki sembari menunjuk ke tugu yang berada di sampingnya.
Peristiwa Pembunuhan
Gencarnya perlawanan pemuda dan pejuang TRI/TNI di Sintuak Tobohgadang sekitarnya membuat Belanda kalap dan melakukan serangan membabi buta. Rakyat biasa, petani, saudagar jadi sasaran. Pagi 7 Juni 1949, satu kompi serdadu Belanda melakukan penyisiran ke arah Barat dari Lubuak Aluang.
Operasi dipimpin Kapten Backer Komando Markas Teritorial Belanda yang bergerak dari tiga jurusan, yaitu dari Selatan melalui Pungguangkasiak, dari Utara melalui Pakandangan dan Kototinggi serta dari Barat melalui Bintungan Tinggi, Pauhkamba, dan Tobohgadang.
Ketiga rombongan menyatu dan bertemu di pasar Sintuak, tepat di lapangan dekat stasiun kereta api Sintuak. Pada pukul 09.00 WIB, ketiga rombongan membawa orang-orang tangkapannya. Tujuan penyisiran menangkap gerilya pemuda pejuang kemerdekaan dan anggota TNI. Namun, setiap laki-laki dewasa yang ditemui digiring.
Di stasiun kereta api Sintuak, semua tangkapan dikumpulkan, dibagi tiga kelompok. Pertama, 20 orang dibawa ke Lubuak Aluang untuk diperiksa. Kedua, 35 orang disuruh pulang. Ketiga, 40 orang dibawa Belanda ke Surau Batu Sintuak. Kelompok ini di halaman Surau Batu mula-mula disuruh duduk melingkar mendengarkan tuduhan sebagai gerilya, ekstrimis, penghianat, perampok dan sebagainya.
Walaupun ada diantaranya berteriak menyatakan bahwa ia petani, tidak tahu apa-apa, tidak dihiraukan oleh serdadu Belanda. Kemudian digiring ke pinggir sungai Batang Tapakih berbaris membelakangi kepada serdadu Belanda dan menghadapi aliran sungai. Tiga senapan mesin siap memuntahkan peluru. Tiba-tiba terdengar komando tembak! Door… door….door. Sebanyak 37 orang tewas. Mayatnya dihanyutkan Batang Tapakih yang waktu itu tengah banjir.
Peristiwa berdarah itu terjadi sekitar pukul 10.00 WIB. Masyarakat setempat tidak ada yang menyaksikan langsung, hanya bunyi tembakan dari jauh. Tiga orang terhindar dari maut. Ketiganya, saat letusan senjata api musuh terdengar, mereka cepat terjun ke sungai. Lalu menghanyutkan diri bersama air banjir. Masing-masing Zakaria alias Buyuang Gati, ditangkap di Tobohluaparik, Tobohgadang.
Setelah hari gelap, baru berani keluar dari sungai dan pulang. Kedua, Hongkong yang dibangunkan ketika masih tidur pukul 05.30 WIB di Bayua Kototinggi. Ketiga, Nasir Labai Buyung Itik, ditangkap tentara Belanda di Surau Buluah Apo Sawahmansi Tobohgadang, ketika selesai shalat Subuh.
Nasir Labai Itik malam harinya sampai di Balaiusang Sintuak. Ia menceritakan kejadian pada masyarakat setempat. Informasinya dengan cepat tersebar luas dan malam itu juga masyarakat Sintuak bersama-sama membawa lampu petromak mencari korban.
Karena Batang Tapakih banjir, masyarakat kesulitan mencari jenazah korban. Tidak semua korban dapat ditemukan. Hanya beberapa korban dapat ditemukan. Enam korban yang tidak dikenal dikuburkan di tepi Batang Tapakih. Jenazah yang dikenal segera dibawa keluarga dan besoknya dikuburkan di pandan pekuburan masing-masing. Yang dikuburkan keluarga Nazir, Mulek Dodok dan Yusuf Jalang. Namun dapat dicatat hanya 26 orang teridentifikasi. Tiga orang selamat, 6 orang dikuburkan secara massal dan 5 orang lagi tidak ditemukan. (rel/amir