BIJAK ONLINE (Bandar Lampung)---Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Lampung mengingatkan jajaran Kepolisian di Polda Lampung untuk menghormati Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman antara Dewan Pers, PWI, dan Polri terkait penanganan proses pegaduan terkait pemberitaan media.
Sehingga tidak terjadi kesan istilah kriminalisasi terhadap pers muncul kembali. Hal itu terkait masih adanya pemanggilan wartawan media siber cahayalampung.com oleh Polres Tulang Bawang, atas laporan Kepala Desa, dengan sangkaan perbuatan tidak menyenangkan. Demikian dikatakan Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan PWI Lampung, Juniardi, SIP MH.
Menurut Juniardi, kasus terkait pemberitaan media yang benar-benar media pers adalah masuk ranah delik pers, bukan delik pidana. Karena sudah ada MoU Dewan Pers, PWI dan Polri.
“Ada laporan dari PWI Tulangbawang, yang salah satu wartawan yang juga anggota PWI dipanggil Polres Tulang Bawang, mengahadap penyidik berpangkat brigadir. Sepertinya Polres Tulang Bawang harus pahami MOU Dewan Pers, PWI dan Polri, tentang UU Pers,” kata Juniardi.
Juniardi menjelaskan, seluruh organisasi wartawan baik Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers juga telah lama mendesak agar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menghentikan kriminalisasi terhadap pers.
"Upaya kriminalisasi terhadap pers pernah terjadi terhadap majalah Tempo, Warta Kota, Metro TV, Koran Tribun, serta TV One. Yang seharusnya masuk delik pers tapi masuk ranah pidana," papar Juniardi mencontohkan.
Untuk itu, PWI Lampung meminta agar Polres Tulang Bawang melimpahkan penyelesaian sengketa pemberitaan antara pengadu dan cahayalampung.com kepada Dewan Pers, atau Dewan Kehormatan PWI Lampung.
"Karena dari laporan PWI Tulang Bawang, apa yang dilakukan wartawan media siber cahayalampung.com, merupakan bentuk kontrol sosial yang merupakan salah satu fungsi pers. Bila memang keberatan dengan pemberitaan tentu bisa melalui mekanisme yang ada ke Dewan Pers," ujar mantan Ketua Komisi Informasi Provisi Lampung itu.
Ia juga mengaskan, Dewan Pers dan Polri telah melakukan nota kesepahaman terkait laporan atas pemberitaan media.
"Nota kesepahaman itu dimaksudkan agar implementasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dapat berjalan dengan baik. Bila ada aduan soal pemberitaan, maka masuknya ke Dewan Pers. Nah Polres Tulang Bawang juga harus konsisten," tukasnya.
Alumni FH Unila itu menilai pemuatan berita terkait dugaan ijazah palsu oknum kepala desa di Tulang bawang yang diberitakan cahayalampung.com itu telah sesuai dengan kaidah jurnalistik sebagaimana diatur dalam UU Pers. Dalam pasal 4 UU Pers disebutkan bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
"Jika telah sesuai kode etik, tapi masih ada proses delik pidana, maka ada indikasi pelemahan kebebasan pers,” tegas Juniardi.
Ditambahkannya, masih adanya kasus pemberitaan yang dilaporkan ke polisi adalah bentuk ancaman serius untuk kebebasan pers. Soal pemberitaan yang salah, dalam Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers (Kode Etik Jurnalistik) menyatakan bahwa Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akuratdisertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Di dalam dunia pers dikenal 2 (dua) istilah yakni: hak jawab dan hak koreksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers).
“Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Hak jawab dan hak koreksi merupakan suatu langkah yang dapat diambil oleh pembaca karya Pers Nasional apabila terjadi kekeliruan pemberitaan, utamanya yang menimbulkan kerugian bagi pihak tertentu," jelas Juniardi.
Upaya yang dapat ditempuh akibat pemberitaan Pers yang merugikan, ia menuturkan, adalah sebagai pihak yang dirugikan secara langsung atas pemberitaan wartawan memiliki Hak Jawab untuk memberikan klarifikasi atas pemberitaan tersebut. Langkah berikutnya adalah membuat pengaduan di Dewan Pers.
“Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen. Dewan Pers Indonesia mendefinisikan pengaduan sebagai kegiatan seseorang, sekelompok orang atau lembaga/instansi yang menyampaikan keberatan atas karya dan atau kegiatan jurnalistik kepada Dewan Pers,” katanya.
Salah satu fungsi Dewan Pers yaitu memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Apabila Hak Jawab dan Pengaduan ke Dewan Pers tidak juga membuahkan hasil, maka UU Pers juga mengatur ketentuan pidana dalam Pasal 5 jo. Pasal 18 ayat (2)UU Pers.
Pasal 5 UU Pers menyebutkan Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pers wajib melayani Hak Jawab. Pers wajib melayani Hak Koreksi. “Lalu Pasal 18 ayat (2) UU Pers Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah),” katanya. (jun)