JUJUR, saya memang termasuk anak nagari Pauhlimo yang kurang peduli dengan adat leluhur dan kesenian tradisional dari nagari yang subur tempat keberadaan sebuah kampus Universitas Andalas Padang. 

Tapi, ketidak pedulian saya itu, lebih karena Nagari Pauhlimo hanya sebuah nagari dari orangtua perempuan yang kebetulan punya rumah gadang di Cupak Tangah Pasa Baru, tepatnya di simpang tiga antara ke kampus Unad dan Bandar Buek.

Jadi, Nagari Pauhlimo bagi saya hanya sebagai tempat nenek saya berdomisili dan dilahirkan dari Kaum Suku Djambak. Sementara saya sendiri, berpindah dari satu kota ke kota yang lain, karena orang tua laki-laki saya seorang tentara dari suku kaum Sikumbang yang sekarang dikebumikan di Makam Pahlawan Kuranji, 1999 lalu.

Sebagai anak seorang pahlawan, saya dilahirkan dan dibesarkan di Kota Pekanbaru Provinsi Riau. Bahkan, saat saya sekolah di Pesantren Thawalib Padang Panjang, sekolah yang didirikan orangtua Buya Hamka, teman-teman tahunya saya anak Kota Pekanbaru, sehingga saya pun pernah bergabung dengan Ikatan Pelajar Pemuda Riau (IPPR) Padang Panjang.

Saya menjadi warga Kota Padang, setelah melanjutkan kuliah di Fakultas Dakwah IAIN Imam Bonjol Padang, 1978  dan secara kebetulan orangtua punya rumah di Jalan Bandar Purus Nomor 86, Kecamatan Padang Barat.

Jadi saya mengenal Nagari Pauhlimo, setelah menjadi mahasiswa di IAIN Imam Bonjol dan setiap hari Sabtu bertandang ke Nagari Pauhlimo. Bahkan, ada kenangan yang tak mungkin terlupakan ketika setiap malam minggu, mamak dari lain nenek, yang bernama Syamsuar, selalu mengajak saya balanjuang belut dan jengkol muda (jariang). Menu belut diperoleh dari tengah sawah yang sengaja dicari ditengah malam tersebut. 

Mamak saya itu memang hebat dan cekatan dalam mencari belut ditengah sawah. Adakalanya, belut ditangkapnya dengan menggunakan alat tang, adakalanya juga dengan golok dan belut itu sengaja dipukulnya dengan mengguna punggung golok dan kemudian baru diambilnya. Sedangkan saya hanya membantunya membawa lamo strongkeng yang berjalan diatas pematang sawah.

Begitu belut telah banyak didapat, mamak saya langsung pula membersihkan belut tersebut dan langsung memasaknya dengan ditambang dengan jengkol alias jariang muda. Adakalanya menu balanjuang ditambah dengan rebus terung dan sayur lalidih.

Seusai makan balanjuang, maka mamak saya itu berceritalah tentang nagari Pauhlimo, terutama masalah ilmu beladiri silat,  termasuk kesenian tradisional, diantara Dendang Pauh. Bahkan, saya juga pernah diajaknya pergi mendengarkan Dendang Pauh.

Tapi kini, saya tak pernah lagi mendengar dan mengetahui, apakah dendang pauh itu masih ada dilaksanakan anak nagari Pauhlimo, atau bagaimana. 

Padahal, dendang Pauh merupakan seni tradisi asli Pauh, Kota Padang. Hiburan tradisonlal tersebut, berkisah tentang perjalanan hidup seseorang, sarat dengan berbagai nasehat yang punya makna. 

Sementara kesenian Dendang Pauh, seseorang memainkan saluang, alat musik bambu dengan lubang dalam enam tingkatan nada. Kemudian diperkuat dengan tukang dendang, yang akan  berpantun dan bergirindam dalam bahasa Minang khas Pauh, yang talu bertalu dengan irama saluang.

Kunci keberhasilan Dendang Pauh, sangat ditentukan dengan kepiawaian tukang dendang dalam menjalin cerita dengan pantun-patun, yang disesuaikan dengan kondisinya saat itu.

Dulu itu kata mamak saya,  penampilan atau pertunjukan saluang jo dendang Pauh biasanya dilakukan dalam peristiwa budaya alek nagari, pesta pernikahan, pengangkatan panghulu. Tapi kini, saya tak ada lagi melihat, mendengar dari pergelaran Denang Pauh tersebut. Kenapa? Antalah.

Sebagai anak nagari, tentu saya juga punya tanggungjawab moral untuk tetap melestarikan Dendang Pauh tersebut. Soalnya, berdasarkan informasi ninik mamak yang ada sekarang, pelaku dan penggiat seni tradisi saluang jo dendang Pauh sudah langka. Kalaupun ada kemungkinan hanya sekitar lima atau enam orang saja yang masih bertahan. 

Kesimpulan saya, seni tradisi saluang jo dendang Pauh yang kaya dengan nilai-nilai budaya, norma sosial, dan adat ini, terancam punah, dan lenyap dari tanah Nagari Pauh Limo ini, jika tak ada anak nagari yang peduli. (Penulis wartawan tabloidbijak dan padangpos.com)

google+

linkedin