RATUSAN sopir angkutan kota (angkot) Padang berunjuk rasa atau berdemo di depan Kantor Gubernur Sumbar, Rabu, 20 September 2017. Aksi unjuk rasa itu, tak hanya membuat masyarakat yang membutuhkan angkot terganggu, terlantar disepanjang jalan, tapi juga membuat Pemerintah Provinsi Sumatera Barat memutuskan untuk menutup dan menghentikan kegiatan operasional kantor Gojek Indonesia di Kota Padang.
Kebijakan yang diambl Pemerintah Sumatera Barat itu dengan dalih pihak Gojek belum mengantongi izin, sebagaimana ditegaskan Kepala Dinas Perhubungan Sumbar Amran. Katanya, penutupan kantor dilakukan karena Pemprov memang tidak pernah memberikan izin terkait kegiatan operasi Gojek di Kota Padang.
Kepada pengunjuk rasa sopir angkot, Kadis Perhubungan Sumbar, Amran menagskan, kalau dirinya tidak berwenang untuk menutup aplikasi Gojek yang menjadi poin tuntutan para pengemudi angkot. Alasannya, urusan soal izin aplikasi merupakan ranah pemerintah pusat, dalam hal ini adalah Kementerian Perhubungan dan Kementerian Komunikasi dan Informasi.
Kemudian, Kadshub Sumbar itu menegaskan juga, meski akhirnya kantor Gojek ditutup, pihaknya tetap melakukan koordinasi dengan manajemen Gojek dan Organda Kota Padang. Dalihnya, penutupan kantor Gojek tetap dilakukan prosedur hukum yang benar. Alasanya, persoalan Go-jek butuh aturan.
Kalau kita bercara aturan, ribut-ribut soal Gojek dan layanan transportasi daring lainnya tak hanya terjadi di Sumatra Barat, tapi permasalahan ojek daring juga dihadapi daerah-daerah lainnya di Indonesia. Jakarta misalnya, waktu Ahok berkuasa, mendukung para tukang ojek untuk bergabung dengan aplikasi tersebut. Kontan, sikap Ahok itu dikritik dan ditentang. Kenapa? Karena pernyataan Ahok melanggar aturan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Angkutan Umum Orang dan Barang. Yakni, sepeda motor bukan diperuntukkan sebagai angkutan umum orang dan barang.
Terlepas dari persoalan pro dan kontra tersebut, yang jelas pasal dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Angkutan Umum Orang dan Barang harus direvisi, meski Gojek merupakan aplikasi, namun dalam kegiatannya Gojek sudah menjadi sarana angkutan umum orang dan barang.
Kalau sudah direvisi, bisa saja berupa Peraturan Pemerintah dan menjadi Peraturan Daerah (Perda). Kalau sudah seperti itu, bisa saja nantinya Gojek platnya kuning bukan lagi hitam.
Sebagai bahan pemikiran, perkembangan teknologi tidak bisa ditepis keberadaannya. Maksudnya, perkembangan Teknologi Informasi tidak bisa dibendung yang mengakibatkan revolusi di segala bidang termasuk di bidang angkutan. Hanya saja kini, perlu jadi perhatian tentang pentingnya kualitas jasa angkutan.
Kemudian yang perlu menjadi perhatian adalah penanggung jawab sistem ini, sehingga kalau ada keluhan penggunanya dapat melakukan komplain ataupun ganti rugi kalau penumpang terlibat kecelakaan dan mengakibatkan cidera pada penumpang, bisa dialihkan ke asuransi.
Jadi kini, kalau Pemerintah Sumatera Barat atau Walikota Padang ingin melindungi para tukang ojek dering (Go-jek), haruslah mengajakan para pakar hukum, baik yang ada di Unand, Bung Hatta, Unes dan perguruan tinggi lainnya untuk melakukan revisi terhadap pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Angkutan Umum Orang dan Barang. Revesi tersebut cukup untuk mengakomodasi teknologi informasi saja.
Jika tidak, jelas Go-Jek tak bisa beroperasi di Sumaera Barat, karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Angkutan Umum Orang dan Barang. Persoalan ini tentu membuat ribuan tukan ojek akan kehilangan mata pencariannya untuk menghidupkan anak bininya.
Kemudian tentang sopir angkot, sudah saatnya pula Organda dan Pemerintah Daerah untuk menciptakan layanan yang aman, tertib, sehingga membuat masyarakat pengguna transportasi angkot tidak menjerit, mengeluh dengan tingkah polah supir angkot dengan musik kerasnya dan berhenti seenaknya. Yang sangat perlu diperhatikan, adalah kesalamatan penumpang dari aksi copet dan jamret. Semoga. (Penulis wartawan tabloidbijak dan padangpos.com).