JUDUL tulisan ini, jelas akan membuat para politisi, terutama di Ranah Minang  akan uring-uringan dan berkomentar macam-macam, mulai dari komentar sumpah serapah, sampai kepada komentar a-priori, serta berprasangka negatif, terutama politisi yang sok jujur dan munafikun.

Sebutan atau cemeeh politisi busuak, kepada para poltisi yang nota bene kini lagi menjadi anggota dewan yang terhormat atau penguasa di suatu daerah di berbagai daerah tingkat dua di Sumatera Barat, memang cemooh yang menyakitkan hati, karena sakitnya tuh disini.

Sampai saat ini, di memori pada sebagian besar pemikiran masyarakat yang melek informasi tentang demkorasi di Era Reformasi, memang lebih banyak negatifnya dari pada positifnya dan jadi wajar-wajar saja jika muncul bahasa negatif beraroma cemeeh kepada para politisi dengan kata kasar  politisi busuak.

Bahkan, ada juga masyarakat yang mempertanyakan, kata siapa bilang berpolitik itu merupakan perkumpulan orang-orang baik hati dan  jujur?. Kemudian, kata siapa pula yang menilai para politisi itu bisa jujur.

Tudingan dan penilian negatif yang dialamatkan kepada para politisi yang lagi berpesta pora di pesta demokrasi pemilihan kepala daerah, yang puncaaknya, 9 Desember 2015 mendatang di terminal akhir KPU Sumbar,  memang banyak memunculkan prasangka dan dugaan tentang adanya pemainan money politik alias politik kepeng-kepeng.

Rasanya, hampir semua masyarakat menilai, kalau kandidat yang diusung partai politik merupakan sapi perahan petinggi partai dan kerjasama yang kurang terpuji antara calon yang diusung dengan partai yang mengusung. Bahkan, ada diantara masyarakat anti money politik atau politik kepeng berani bertarung potong kepala tentang dugaan dan tuduhan kandidat yang diusung pasti karena adanya kepeng-kepeng. Kata tegasnya, partai politik lebih cendrung melihat, mengkaji dan menganalisa kepeng-kepeng kandidat, daripada kualitas sumber dayanya, baik dari sisi moral, dan ketaqwaan.

Bagi tim relawan Sadiq Pasadique misalnya, so pasti menyebutkan "ayam jagonya" lebih hebat dan super dari calon yang berhasil mendaftar di KPU Sumbar, yakni pasangan IP-NA dan MK-FB. Bahkan, ada juga yang menyumpah serapah dengan tak lolosnya Sadiq Pasadique.

Yang hebatnya, kandidat yang lolos, tak peduli konstituen atau simpatisannya marah dan ribut-ribut diakar rumput. Bagi mereka yang penting  bisa memperebutkan kursi kekuasaan dan selalu basah dengan aliran uang berkarung-karung. 

Sehingga muncul bahasa dari masyarakat yang menilai politik itu  kejam, bagi masyarakat awam. Tapi bagi para politisi menilai kekejaman politik dianggap sebagai garam atau bumbu untuk sambal atau permainan dalam kompetisi merebut kekuasaan melalui hiruk-pikuk dan saling sikut pada pesta demokrasi. 

Kini, sudah banyak juga masyarakat yang paham dan mengerti bahwa dalam berpolitik tak ada teman maupun lawan yang sejati. Yang ada cuma kepentingan sejati untuk meraih  sebuah kemenangan dalam pilkada, sehingga tega-teganya  mengorbankan rakyat miskin, awam, yang tak mengerti dengan urusan politik.

Padahal, politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional, tanpa merusak sendi-sendi  kehidupan yang amai dan sejahtera, serta diridai oleh Allah Yang Maha Kuasa.  (penulis wartawan tabloid bijak).

google+

linkedin