AKSI  demonstrasi gabungan mahasiswa Padang yang memprotes kenaikan BBM pada hari Selasa 18 November lalu di sekitar kantor DPRD Sumbar, menyisakan beberapa catatan menarik, baik pada saat berlangsungnya aksi maupun efek domino yang ditimbulkannya. Ketika aksi tengah berlangsung, terjadi pemukulan berdarah yang dilakukan aparat kepolisian terhadap beberapa mahasiswa yang pada umumnya berasal dari kelompok Cipayung (HMI, GMKI, GMNI, PMII, PMKRI).
 
Pemukulan itu kemudian diikuti dengan penangkapan dan penahanan beberapa aktivis mahasiswa, dan beberapa di antara mereka sempat diinapkan semalaman di Poltabes Padang. Terjadinya pemukulan berdarah, menurut aparat kepolisian, disebabkan karena adanya provokasi dari kalangan demonstran terhadap barisan aparat yang ditugaskan mengamankan jalannya aksi.
 
Pembebasan beberapa aktivis mahasiswa pada hari Rabu siang itu ternyata belum menuntaskan ekses yang ditimbulkan akibat Aksi Selasa Berdarah itu. Di kalangan kepolisian Poltabes Padang muncul kegeraman karena ada anggota mereka yang terluka dalam menjalankan tugas mengamankan aksi. Agaknya aparat sudah mengantongi nama mahasiswa yang diduga melakukan pelemparan terhadap petugas, hal ini terbukti ketika pada Jum’at sore 21 November, beberapa orang anggota kepolisian menjemput seorang aktivis mahasiswa dari IAIN yang sedang melakukan Praktek Penyiaran di RRI Padang. Mahasiswa tersebut ditahan tanpa disertai surat penangkapan dan penahanan.
 
Rangkaian kejadian sejak aksi demonstasi hari Selasa, pembebasan aktivis mahasiswa hari Rabu, hingga penangkapan susulan terhadap seorang mahasiswa IAIN di RRI Padang Jum’at menjelang sore itu, adalah peristiwa yang biasa saja dalam dalam dunia Gerakan Mahasiswa, tanpa memandang apakah gerakan yang dilakukan itu berskala besar dengan pengaruh yang besar ataupun gerakan yang berskala kecil dengan dampak lokal.
 
Tetapi ada sesuatu yang tidak biasa terjadi pasca penangkapan Jum’at petang itu, peristiwa ini termasuk langka dalam rentangan sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Yaitu tindakan yang diambil oleh jajaran pimpinan Fakultas Dakwah IAIN Imam Bonjol Padang, untuk membebaskan salah seorang mahasiswa mereka yang ditangkap aparat kepolisian.
 
Pada hari Sabtu 22 November, dengan dikoordinasikan oleh Wakil Dekan III Fakultas Dakwah Dr. 
Welhendri Azwar, M.Si, serombongan tim yang terdiri dari beberapa orang dosen dan sebarisan advokat, bergerak simultan menuju kantor Poltabes Padang yang terletak di kawasan stadion Imam Bonjol. Kedatangan tim ini tentu tidak lain kecuali ingin melakukan negosiasi dengan cara apapun dengan pihak Poltabes agar mahasiswa mereka yang ditahan segera dibebaskan
 
Bagi penulis, peristiwa ini bukanlah peristiwa biasa yang lazim terjadi. Ini adalah peristiwa luar biasa yang luput dari pengamatan dan ekspos media. Peristiwa yang dapat mengabarkan dan menggambarkan kondisi yang mestinya ada pada sebuah Perguruan Tinggi dalam perannya sebagai pilar perubahan
 
Dalam dunia gerakan mahasiswa, resiko dipukul sampai berdarah-darah, ditangkap, dipenjara dan dianiaya oleh aparat keamanan adalah hal yang biasa. Para mahasiswa juga sangat sadar bahwa ketika mereka bergerak ke jalan untuk menunaikan tugasnya sebagai agen perubahan mereka sudah siap dengan segala resiko yang akan dihadapi. Kalaupun mereka ditahan ataupun dipenjara harapan mereka sering tertumpu kepada senior mereka mantan-mantan aktivis Organisasi kemahasiswaan akstra-kampus, atau kepada LSM yang sering memberikan advokasi secara hukum dan pendampingan terhadap mahasiswa yang berurusan dengan aparat keamanan akibat aksi-aksi yang mereka lakukan.
 
Mereka hampir tidak punya harapan kepada pimpinan Perguruan Tinggi tempat mereka berkuliah. Karena mereka sadar bahwa selama ini, hampir mustahil pihak pimpinan Perguruan Tinggi bersedia ambil bagian dalam menyelesaikan kasus yang dialami mahasiswanya saat berurusan dengan aparat penegak hukum sebagai konsekwensi dari gerakan dan aksi yang dilakukan mahasiswa bersangkutan.
Peristiwa pembebasan mahasiwa IAIN dari tahanan Poltabes Sabtu kemaren itu dapat menjadi inspirasi dan spirit bagi gerakan mahasiswa di Sumatera Barat, bahkan mungkin Indonesia.
 
Spirit dan Inspirasi itu, tentu harus di absorbsi oleh kedua belah pihak. Dari sisi mahasiwa, kejadian ini, mestinya, memberikan pandangan baru bahwa telah datang masanya gerakan aksi mahasiswa tidak lagi datang dari ruang yang sunyi, tapi ia muncul dari kesadaran kolektif, yaitu kolektifitas visi dan misi gerakan mahasiwa dengan Perguruan Tinggi tempat di mana dia menggali ilmu dan hikmah.
 
Sedangkan dari sisi Perguruan Tinggi, peristiwa ini mengajarkan suatu sikap bahwa betapa pentingnya menjaga fleksibilitas tempat berdiri, bahwa hubungan mahasiswa dengan Perguruan Tinggi tidak boleh direduksi menjadi sekedar hubungan konsumen dengan produsen, tetapi mestilah ditabalkan menjadi hubungan yang integratif layaknya sebuah keluarga. Mahasiwa adalah ‘public relation’ (PR) bagi Perguruan Tingginya, oleh karena itu setiap aksi-aksi kritis mahasiwa, baik di dalam maupun di luar kampus, mestilah mendapat proteksi dan pendampingan dari perguruan tingginya.
 
Terlepas dari semua rentetan peristiwa yang baru saja berlangsung itu, apresiasi sangat tinggi rasanya layak diberikan kepada jajaran pimpinan IAIN Imam Bonjol, khususnya Fakultas Dakwah melalui Wakil Dekan III nya yang telah memberikan inspirasi tentang bagaimana caranya ‘turun gunung’ untuk melindungi dan membebaskan mahasiwa dari terkaman dinding tahanan kepolisian yang dingin dan sunyi.
Aksi pembebasan hari Sabtu itu memang indah ! (Penulis Dosen FIS-UNP)

google+

linkedin