BANGSA dan rakyat kita sekarang ini baru memulai suatu tahapan yang baru dalam sistem ketatanegaraan kita dengan baru dilantiknya Presiden dan Wakil Presiden untuk periode 5 (lima) tahun kedepan. Pesta demokrasi telah usai dilaksanakan dan kita saksikan bersama prosesnya. Semua proses tersebut bermuara kepada terpilihnya para pemimpin dan wakil kita di DPR.
Berarti semua pimpinan unsur kelembagaan negara kita sudah ada dan tinggal menjalankan tugas mereka masing-masing supaya roda pemerintahan ini berjalan dengan baik dan lancar dan diawasi oleh wakil-wakil kita yang ada di DPR.
Tetapi fenomena yang kita lihat sekarang ini menjadi absurd dan kontradiktif dengan prilaku dan intrik-intrik politik yang mereka pertontonkan pada kita sebagai rakyat. Sikap dan tingkah laku yang “ideal” dari seorang pemimpin tidak terlihat pada diri pemimpin kita tersebut karena “maruk dan nafsu kekuasaan” lah yang mereka perlihatkan kepada kita semuanya yang nantinya akan menimbulkan komplikasi politik yang lebih luas.
Refleksi Diri
Ungkapan ini sangat mudah untuk diucapkan dan diperbincangkan oleh siapapun, tetapi kalau disuruh diterapkan terhadap diri kita masing-masing, sangat sulit sekali dilakukan karena kita selalu melihat kepada diri orang lain, tetapi tidak pernah melihat dan mengoreksi diri kita sendiri. Kesalahan orang lain sangat mudah untuk kita lihat, tetapi kesalahan diri kita sendiri tidak pernah kita akui dan kita rasakan, kita terlaku angkuh dan “sok-sok an” pada diri kita sendiri. Hal ini terjadi pada semua tingkatan masyarakat, baik yang namanya pemimpin apapun sampai masyarakat biasa.
Keadaan yang demikian sangat diperparah lagi dengan sifat hidup yang individualistik, hidup yang semakin susah dan menderita sehingga telah menghilangkan sifat kolektif yang selama ini hidup dan berkembang di masyarakat. Yang lebih parahnya lagi orang yang kita dahulukan selangkah (pemimpin) juga tidak malu-malu mempertontonkan sikap-sikap yang menghilangkan “respek” kita kepada mereka semuanya. Sikap dan perbuatannya sangat bertentangan sekali (munafik), ditambah lagi dengan hausnya mereka akan harta dan mabuk kekuasaan yang selalu harus dihormati dan disanjung.
Kalau kita sebut mereka tidak menjalankan ajaran agama, juga tidak betul. Mereka semuanya menjalankan ibadah secara tekun, seperti sholat dan puasa, mengunjungi rumah-rumah ibadah dan tempat suci. Seharusnya kalau sudah melakukan semua itu, pasti akan berdampak pada tingkah laku dan sifatnya kearah yang lebih baik dan tidak yang seperti terjadi seperti sekarang ini. Mungkin betul ungkapan yang dikatakan oleh Mohammad Sobari, bahwa kita semuanya rajin beribadah dan “ngaji” (hubungan yang vertikal), tetapi kita tidak pernah “ngaji” kehidupan (hubungan horizontal). Inilah yang membuat keadaan negara kita semakin mundur.
Etika Kepemimpinan
Disini yang utama sekali dikoreksi adalah para pemimpin bangsa ini, baik pimpinan di pemerintahan maupun pimpinan di perusahaan besar maupun kecil mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah.
Mereka harus diajarkan cara memimpin dan bertingkah laku sebagai pemimpin. Mungkin dalam kemampuan “kompetensi” mereka sudah bisa menjadi pemimpin, tetapi “ mental” mereka belum siap untuk menjadi pemimpin. Inilah yang menjadikan pemimpin itu menjadi suka disanjung, gila hormat, selalu memanfaatkan kesempatan dan fasilitas yang diberikan secara berlebihan, memperlihatkan sifat “kharismatis” yang semu, bergaul hanya dengan kalangan tertentu saja, mengganggap rendah enteng bawahannya, dan sebagainya.
Mengenai etika moral dalam kepemimpinan ini, Nurcholish Madjid (1981:62) menjelaskan bahwa yang pertama harus ada dalam diri seorang pemimpin adalah adanya integritas pribadi yang dimulai dari munculnya keinsafan bahwa pemimpin itu sedang mengemban amanah dari rakyat dan bawahannya. Etika ini sarat dengan nilai keagamaan.
Dalam agama manapun, etika moral ini pasti ada. Seperti dalam Islam dapat dilihat banyaknya kandungan ayat suci Al-Qur’an yang membahasnya. Seperti dalam ayat yang terkandung dalam surat An-Nahl ayat 125 yang menyebutkan tentang hubungan antar sesama perlu ditekankan pada sikap yang mencerminkan penuh kebijakan, penyampaian yang indah, dan argumentasi yang paling baik. Prilaku nabi Muhammad merupakan contohnya.
Dalam agama Kristen, menurut Abd A’la yang mengutip pendapat dari Tanja, Jesus Kristus dalam iman kristiani dipandang dari tiga dimensi : sebagai raja, ia mencerminkan keadilan, keterbukaan dan kebijaksanaan yang semuanya dilandaskan pada keimanan dan ketakwaan demi terciptanya persatuan dan kesatuan. Sebagai imam, Yesus merupakan personifikasi dari sosok pemimpin yang mendekatkan semua manusia dalam suasana kehangatan dan keakraban, yang berani berkorban demi kepentingan semua orang. Sedangkan sebagai nabi, Kristus bertugas mengkritik penyalahgunaan wewenang dan menunjuk sebuah tatanan hidup yang lebih baik pada masa depan.
Apakah pemimpin apapun yang kita lihat sekarang ini sudah seperti itu? Atau siapapun yang merasa dirinya sebagai pemimpin dimanapun sudah menerapkannya? Kalau semua pemimpin sudah bisa menerapkan moral dan beretika, maka negara kita ini akan keluar dari semua cobaan dan musibah yang menimpa negara ini dan bisa membawa bangsa ini menjadi lebih bermartabat dan cemerlang lagi dalam hubungannya di fora internasional. (penulis PNS Pemko Padang)
Berarti semua pimpinan unsur kelembagaan negara kita sudah ada dan tinggal menjalankan tugas mereka masing-masing supaya roda pemerintahan ini berjalan dengan baik dan lancar dan diawasi oleh wakil-wakil kita yang ada di DPR.
Tetapi fenomena yang kita lihat sekarang ini menjadi absurd dan kontradiktif dengan prilaku dan intrik-intrik politik yang mereka pertontonkan pada kita sebagai rakyat. Sikap dan tingkah laku yang “ideal” dari seorang pemimpin tidak terlihat pada diri pemimpin kita tersebut karena “maruk dan nafsu kekuasaan” lah yang mereka perlihatkan kepada kita semuanya yang nantinya akan menimbulkan komplikasi politik yang lebih luas.
Refleksi Diri
Ungkapan ini sangat mudah untuk diucapkan dan diperbincangkan oleh siapapun, tetapi kalau disuruh diterapkan terhadap diri kita masing-masing, sangat sulit sekali dilakukan karena kita selalu melihat kepada diri orang lain, tetapi tidak pernah melihat dan mengoreksi diri kita sendiri. Kesalahan orang lain sangat mudah untuk kita lihat, tetapi kesalahan diri kita sendiri tidak pernah kita akui dan kita rasakan, kita terlaku angkuh dan “sok-sok an” pada diri kita sendiri. Hal ini terjadi pada semua tingkatan masyarakat, baik yang namanya pemimpin apapun sampai masyarakat biasa.
Keadaan yang demikian sangat diperparah lagi dengan sifat hidup yang individualistik, hidup yang semakin susah dan menderita sehingga telah menghilangkan sifat kolektif yang selama ini hidup dan berkembang di masyarakat. Yang lebih parahnya lagi orang yang kita dahulukan selangkah (pemimpin) juga tidak malu-malu mempertontonkan sikap-sikap yang menghilangkan “respek” kita kepada mereka semuanya. Sikap dan perbuatannya sangat bertentangan sekali (munafik), ditambah lagi dengan hausnya mereka akan harta dan mabuk kekuasaan yang selalu harus dihormati dan disanjung.
Kalau kita sebut mereka tidak menjalankan ajaran agama, juga tidak betul. Mereka semuanya menjalankan ibadah secara tekun, seperti sholat dan puasa, mengunjungi rumah-rumah ibadah dan tempat suci. Seharusnya kalau sudah melakukan semua itu, pasti akan berdampak pada tingkah laku dan sifatnya kearah yang lebih baik dan tidak yang seperti terjadi seperti sekarang ini. Mungkin betul ungkapan yang dikatakan oleh Mohammad Sobari, bahwa kita semuanya rajin beribadah dan “ngaji” (hubungan yang vertikal), tetapi kita tidak pernah “ngaji” kehidupan (hubungan horizontal). Inilah yang membuat keadaan negara kita semakin mundur.
Etika Kepemimpinan
Disini yang utama sekali dikoreksi adalah para pemimpin bangsa ini, baik pimpinan di pemerintahan maupun pimpinan di perusahaan besar maupun kecil mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah.
Mereka harus diajarkan cara memimpin dan bertingkah laku sebagai pemimpin. Mungkin dalam kemampuan “kompetensi” mereka sudah bisa menjadi pemimpin, tetapi “ mental” mereka belum siap untuk menjadi pemimpin. Inilah yang menjadikan pemimpin itu menjadi suka disanjung, gila hormat, selalu memanfaatkan kesempatan dan fasilitas yang diberikan secara berlebihan, memperlihatkan sifat “kharismatis” yang semu, bergaul hanya dengan kalangan tertentu saja, mengganggap rendah enteng bawahannya, dan sebagainya.
Mengenai etika moral dalam kepemimpinan ini, Nurcholish Madjid (1981:62) menjelaskan bahwa yang pertama harus ada dalam diri seorang pemimpin adalah adanya integritas pribadi yang dimulai dari munculnya keinsafan bahwa pemimpin itu sedang mengemban amanah dari rakyat dan bawahannya. Etika ini sarat dengan nilai keagamaan.
Dalam agama manapun, etika moral ini pasti ada. Seperti dalam Islam dapat dilihat banyaknya kandungan ayat suci Al-Qur’an yang membahasnya. Seperti dalam ayat yang terkandung dalam surat An-Nahl ayat 125 yang menyebutkan tentang hubungan antar sesama perlu ditekankan pada sikap yang mencerminkan penuh kebijakan, penyampaian yang indah, dan argumentasi yang paling baik. Prilaku nabi Muhammad merupakan contohnya.
Dalam agama Kristen, menurut Abd A’la yang mengutip pendapat dari Tanja, Jesus Kristus dalam iman kristiani dipandang dari tiga dimensi : sebagai raja, ia mencerminkan keadilan, keterbukaan dan kebijaksanaan yang semuanya dilandaskan pada keimanan dan ketakwaan demi terciptanya persatuan dan kesatuan. Sebagai imam, Yesus merupakan personifikasi dari sosok pemimpin yang mendekatkan semua manusia dalam suasana kehangatan dan keakraban, yang berani berkorban demi kepentingan semua orang. Sedangkan sebagai nabi, Kristus bertugas mengkritik penyalahgunaan wewenang dan menunjuk sebuah tatanan hidup yang lebih baik pada masa depan.
Apakah pemimpin apapun yang kita lihat sekarang ini sudah seperti itu? Atau siapapun yang merasa dirinya sebagai pemimpin dimanapun sudah menerapkannya? Kalau semua pemimpin sudah bisa menerapkan moral dan beretika, maka negara kita ini akan keluar dari semua cobaan dan musibah yang menimpa negara ini dan bisa membawa bangsa ini menjadi lebih bermartabat dan cemerlang lagi dalam hubungannya di fora internasional. (penulis PNS Pemko Padang)