SAYA yakin, tulisan ini akan membuat wartawan abal-abal, atau yang ngaku-ngaku wartawan dan yang sok jadi wartawan, pasti terusik, galau, risau, serta mencaracau. Kenapa? Karena puncak kada eeee tersenggol. 

Tapi bagi wartawan yang profesional, sedikit terbantu dan akan ikut pula mencerca prilaku orang-orang yang seenaknya menklaim diri sebagai wartawan beneran, tapi tak pandai menulis berita sesuai kaidah jurnalistik dan bahkan pandainya hanya maota dan berkicau-kicau di dunia maya facebook. 

Sepengetahuan saya, wartawan merupakan profesi sebagaimana seorang dokter dan lawyer. Maksudnya, seseorang baru bisa dikatakan atau dianggap wartawan beneran, jika aktifitas sehari-harinya menulis berita yang diatur oleh undang-undang pokok pers dan kode etik jurnalistik. 

Khusus wartawan online atau portal berita lebih hebat lagi dan aktifitasnya membuat berita bisa dikatakan permenit dan menimal dalam satu hari haruslah menulis berita yang akurat dan terpercaya. Jadi rutinitasnya melebihi wartawan harian dan mingguan.    

Sesuai dengan judul tulisan ini, saya akan membahas terlebih dahulu masalah bila wartawan jadi preman. 

Suka atau tak suka dengan istilah bila wartawan jadi preman ini, yang jelas persoalan wartawan berprilaku preman ini sudah boleh dikatakan meresahkan, terutama pejabat koruptor yang bermental abal-abal. 

Secara fakta, si wartawan yang jadi preman tersebut, punya kartu identitas dan bahkan sudah pula mengantongi kartu Uji Kopetensi Wartawan (UKW) dengan berbagai status. Bahkan, medianya tempat bekerja ada yang di harian, mingguan dan online atau portal berita berbentuk web. 

Khusus wartawan di media online, jabatannya tak tanggung-tanggung pula, sebagai pemimpin redaksi dan penanggungjawab. Bahkan, sebagai pemilik portal berita tersebut dengan berbagai macam nama. Tapi sayangnya, membuat berita masih banyak yang belum clear atau masih berkabut alias centang parenang, baik subtansi persoalannya, maupun tanda bacanya, yang boleh juga disebut tak tahu atau tak mengerti dengan EYD dan tanda baca.

Prilaku wartawan yang bermental preman ini, selain menakut-nakutkan si pejabat koruptor dan bermental abal-abal, juga ada yang main gertak co rang bagak saja. Begitu si pejabat abal-abal ngeper, langsunglah aksi akal bulusnya muncul dengan berbagai permintaan, mulai dari paket proyek sampai minyak bensin dan pembeli rokok. Yang hebatnya lagi, ada pula yang meminta tiket pesawat dan biaya pengobatan anaknya yang katanya sakit.

Prilaku premannya yang agak lumayan bermoralnya, hanya  meminta iklam atau pariwara dengan harga yang telah ditentukannya. Yang ironisnya, yang ulang tahun kantornya dan ucapan selamat untuk kantornya, tapi yang membayar iklan, si pejabat koruptor atau pengusaha yang ber-KKN-ria denga pejabat abal-abal.

Sedangan persoalan preman jadi wartawan, beragam pula bentuk tingkah polahnya dan latar belakangnya. Sebelum mengaku-ngaku jadi wartawan, yang bersangkutan sebelumnya tukang pakang alias makelar, tukang kibus, tukang olah, preman terminal dan bahkan ada mantan napi yang punya catatan hitam.  

Khusus yang tukang olah dan tukang kibus, gayanya melebihi dari wartawan profesional yang sebenarnya. Handphone selulernya bermerek ternama dan android yang berukuran 14 inci dan setiap duduk maota dilapau-lapau selalu membanggakan dirinya. 

Yang hebatnya lagi, sebagai mantan preman Tanah Abang dan kerjanya memeras buruh dengan atribut yang katanya legal, berkoar dirinya wartawan senior yang telah malang melintang. Bahkan, si wartawan abal-abal itu menyebutkan pula, kalau dirinya  punya media online dan rumah kost dan tanah berhektar-hektar. 

Akibat dari kondisi dan fakta wartawan jadi preman dan preman jadi wartawan ini, kian membuat masyarakat sudah tak percaya lagi dengan profesi wartawan. Kenapa? ya karena prilaku negatif para wartawan abal-abal.

Dulu, di zaman orde baru, hanya sekitar 30 persen masyarakat yang percaya dengan berita wartawan. Kalau sekarang entahlah, bisa-bisa 1 persen.

Tapi sayangnya, kondisi dunia wartawan yang carut marut ini, tak ada pula upaya dari elite politik, pejabat berwenang dan masyarakat yang mau mengkritisi, sehingga berdampak pers itu otoriter dan berita yang kalamak dek paruik eeee.

Meskipun ada Dewan Pers, tapi untuk membina, menuntun prilaku wartawan, masih jauh panggang dari api.

Jadi tulisan ini, lebih persoalan  kepedulian saya terhadap dunia wartawan yang kian carut marut, akibat prilaku wartawan abal-abal, yang jumlahnya setiap hari kian  bertambah. 

Sedangkan bagi yang masih mau disebut sebagai wartawan beneran, harus banyak membaca, belajar dan bertanya kepada para pakar dengan segala dispin ilmu. Kenapa? Karena dunia wartawan yang sebanarnya dunia intelektual.

Kini, saya mengajak tokoh masyarakat, ninik mamak, candiak pandai untuk ikut mengkritisi wartawan. Soalnya, masyaakat sebagai pembaca berita punya hak untuk mengkritisi berita dan prilaku wartawan. Mari kita bangun pers yang sehat dan kuat di Sumatera Barat. (Penulis wartawan tabloidbijak dan padangpos.com)

google+

linkedin