TAMPAKNYA, Presiden RI Joko Widodo alias Jokowi lebih peduli dengan politisi busuk dan mafia migas dari pada menteri ESDM, Archandra Tahar, yang dimintanya pulang dari Amerika untuk memperkuat kabinet kerja, yang kemudian dicopotnya, hanya gara-gara kewarganegaraan ganda.

Sebagai anak Minangkabau, Archandra Tahar dengan enteng menyebutkan kalau pencopotannya dari kabinet kerja merupakan takdir dari perjalanan hidupnya. Tapi bagi anak Minangkabau lainnya, jelas punya multi tafsir yang beragam pula, tentang kasus atau tragedi pencopotannya. Kenapa? Karena sebagai Mentri ESDM, Archandra dilantik 27 Juli 2016 dan berakhir pada tanggal 15 Agustus, merupakan catatan sejarah sebagai masa kerja terpendek seorang Menteri semenjak Orde Baru di Indonesia.

Pada tulisan ini, saya tidak membahas masalah hukum dan peranan Menteri Sekretaris Negara, yang sekarang dijabat Pratikno, dalam kebijakan presiden yang memainkan hak prerogatif yang diatur  oleh konstitusi, tentang mengangkat dan memberhentikan menteri. Tapi saya lebih membahas masalah sistem politik Minangkabau yang demokratis dan egaliter.

Kalau kita berbicara sejarah sistem perpolitan Indonesia di awal kemerdekaan, sangat jelas sekali kalau sistem politik Minangkabau menjadi anti-tesis bagi sistem politik di Indonesia yang diusung oleh budaya Jawa yang cenderung sentralistik, patron klien, dan feodalistik.

Sebagaimana kita ketahui, sejak dari dulu, sistem politik Minangkabau dan sitem politik Jawa saling berinteraksi, bersaing, dan berdialektika dalam rangka pengelolaan negara demi pencapaian tujuan bernegara, yaitu masyarakat adil dan makmur.

Dulu, pada awal kemerdekaan, sistem politik Minangkabau yang termanifestasi dalam lakon politik memunculkan tokoh-tokoh Minangkabau, seperti Bung Hatta, Sutan Syahrir, Muhammad Natsir, Agus Salim, Assaat, dan Muhammad Yamin, yang mendapatkan tempat yang lebih luas dan memegang peranan penting dalam kancah politik di Indonesia. Bahkan pada masa dulu itu, banyak pendiri dan aktivis partai politik yang datang dari kalangan Minangkabau, karena politisi Minang yang berada di semua spektrum ideologi, nasionalis, sosialis, islamis.

Tapi, begitu keluarnya Dekrit Presiden pada tahun 1959, sistem politik demokratis yang berumur 14 tahun itu kemudian berganti dengan sistem politik sentralistik dan feodalistik yang dijalankan oleh Presiden Soekarno.

Sistem politik Demokrasi Terpimpin dengan kekuasaan yang hampir tak terbatas itu, tidak cocok dengan kultur politik Minangkabau yang demokratis dan egaliter. Akibatnya masyarakat Minangkabau melakukan pemberontakan PRRI (1958-1960). Pada tahun 1966, rezim Soekarno tumbang dan digantikan oleh Soeharto. Selama 32 tahun, Presiden Soeharto-pun menjalankan sistem yang hampir sama dengan pendahulunya.

Namun perlakuan Soeharto yang mengakomodasi kepentingan politik Minangkabau, tidak menimbulkan riak yang bisa menyebabkan terjadinya pemberontakan. Setelah reformasi 1998, perpolitikan Indonesia kembali ke sistem demokrasi, dan memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada seluruh propinsi/kabupaten-kota di Indonesia. Sistem ini pada hakekatnya menyerupai sistem nagari-nagari di tanah Minang, yang menjadi cita-cita dan perjuangan para politisi Minang.

Begitu juga dengan kebejakan mantan presiden Sosilo Bambang Yudhoyono di Era Reformasi yang juga mengakomudasi politik Minangkabau. Begitu juga dengan BJ Habibie, Gus Dus dan Megawati.

Kini, di Era Jokowi orang Minang kembali menjadi pembicaraan dan perbincangan skala nasional dengan dicopotnya Archandra Tahar.

Dulu, Gubernur Sumbar, Prof Dr H Irwan Prayitno pernah menulis hasil survey (Burhanudin Muchtadi) tentang warga dari etnis Minang yang puas terhadap kepemimpinan Jokowi, hanya sebesar 36,1% dan yang kurang puas sebesar 63,9%.

Survei ini dilakukan tanggal 18-29 Januari 2016 oleh Indikator Politik Indonesia. Angka ini langsung mengingatkan kita kepada hasil pemilu presiden tahun 2014 di Sumbar di mana pasangan Jokowi-JK memperoleh suara 23,1% dan pasangan Prabowo-Hatta memperoleh 76,9% yang merupakan prosentase tertinggi di Indonesia.

Angka yang tak jauh beda antara kepuasan terhadap kinerja Jokowi dengan hasil perolehan suara pilpres 2014 ini mungkin memiliki korelasi atau relevansi yang layak didiskusikan oleh para pakar dan akademisi. Baik dari segi sosial, politik, budaya, maupun dari pelaku survei sendiri.

Dampak dari tulisan Gubenur Sumbar itu, Jokowi menjadi presiden yang melaksanakan salat idil fitri di Kota Padang dan bahkan rajin datang ke Padang. Kini, setelah pencopotan Archandra Tahar ini, apakah Jokowi akan datang ke Padang? (Penulis wartawan tabloid bijak dan padangpos.com)

google+

linkedin