KETIKA Presiden Joko Widodo mencopot jabatan Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago, dan Rizal Ramli, si 'rajawali ngepret' yang berani mendebat Wakil Presiden Jusuf Kalla soal efektivitas proyek pembangkit listrik, reaksi orang Minang tak sedahsyat pencopotan Menteri ESDM, Archandra Tahar. 

Bagi orang Minang, sosok Archandra Tahar, memang belum sepopuler Adrianof dan Rizal Ramli. Tapi begitu mengetahui tentang Achandra Tahar yang menjabat sebagai presiden pada perusahaan yang bergerak pada bidang energi dan perminyakan Petroneering Hoston di Texas, simpatisan orang Minang bermunculan. Kenapa? Karena di perusahaan tersebut mengembangkan teknologi dan rekayasa yang berfokus pada desain dan pengembangan anjungan lepas pantai lebih tahan lama, efektif, dan aman. Jabatan tersebut didudukinya sejak Oktober 2013.

Kemudian, Achandra merupakan jebolan teknik mesin Institut Teknologi Bandung (ITB), yang sebelumnya dari SMAN 2 Padang dan melanjutkan studi strata 2 dan 3 di A&M University Texas Amerika jurusan Ocean Enginering.

Yang menariknya lagi, ternyata Achandra memiliki pengalaman lebih dari 14 tahun di bidang hidrodinamika dan rekayasa lepas pantai. Bahkan, Achandra mengembangkan keahlian khusus melalui sekolah yang luas dan melalui pengalaman praktis di industri.

Anak Minang jenius ini, telah bekerja dengan penemu dari pengeboran dan produksi sistem mengambang dan compliant, Spar, TLP, Compliant Tower, Apung Menara dan Multi Colum Floater selama 13 tahun terakhir. TLP dan produk Spar sendiri mewakili sebagian besar dari semua mengambang sistem pengeboran dan produksi gabungan operasional di dunia saat ini. Yang hebatnya lagi, Archandra Tahar diberikan tiga hak paten pada bidang pengembangan migas lepas pantai.

Rasa simpatik, kagum dan bangga dengan Archandra Tahar kian mengkristal begitu terbesif informasi, anak Padang Pariaman ini berkunjung ke KPK dan minta kementerian ESDM dibersihkan dari mafia migas. Kemudian Archandra juga berhasil menghemat APBN dalam pembangunan blok Marsela.

Dari fakta-fakta tentang sosok Achandra Tahar tersebut, rasa pendapat Pengamat Politik Adi Prayitno dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta perlu dicermati. Kata Adi Prayitno;"Para menteri yang dicopot dari jabatannya pada reshuffle jilid II memiliki track record baik."

Presiden Jokowi, katanya, mau bermian politik aman dari tekanan para politisi. Soalnya, menteri yang dicopot tidak dari orang partai dan Jokowi faktanya mengangkat kader partai PAN dan Golkar.

Dari pencopotan Menteri ESDM, Archandra Tahar, ada kesan Jokowi telah berani mengabaikan etnik Minang yang bertebaran di nusantara ini, yang mayoritas hidup diperkotaan dan menguasai dunia bisnis.

Untuk itu wajar saja, begitu Jokowi mencopot jabatan Archandra Tahar, yang diangkatnya 27 Juli dan dicopotnya 15  Agustus 2016, muncul reaksi anak orang Minang di seantero dunia, baik melalui whatsApp, facebook, twiter maunpun melalui pemberitan media online dan cetak. 

Dari berbagai kicauan anak orang Minang tersebut, lebih banyak yang mengecam kebijakan presiden Jokowi, dan ada pula yang mengingatkan Archandra Tahar untuk mengambil hikmah dari pencopotanya.

Terlepas dari pencopotan itu, yang jelas presiden Jokowi secara tak langsung sudah berani mengusik orang Minang dari percaturan politik di nusantara. Padahal, kalau presiden Jokowi membaca sejarah, sudah dengan jelas dan tegas kalau anak orang Minang memainkan peranan penting dalam hal kemerdekaan bangsa ini. Sebagai contoh Bung Hatta, Tan Malaka, Sutan Syahril, M Yamin, M Nasir dan banyak nama lainnya.

Jabatan menteri termasuk jabatan politis yang seharusnya mengakomodir semua kepentingan politik, termasuk masalah kepentingan etnis. Jadi pencopotan jabatan menteri ESDM, Archandra Tahar, sama juga halnya presiden Jokowi telah mengabaikan kepentingan etnis Minang. 

Padahal, kalau kita berbicara sejarah sistem perpolitan Indonesia di awal kemerdekaan, sangat jelas sekali kalau sistem politik Minangkabau menjadi anti-tesis bagi sistem politik di Indonesia yang diusung oleh budaya Jawa yang cenderung sentralistik, patron klien, dan feodalistik.

Sebagaimana kita ketahui, sejak dari dulu, sistem politik Minangkabau dan sitem politik Jawa saling berinteraksi, bersaing, dan berdialektika dalam rangka pengelolaan negara demi pencapaian tujuan bernegara, yaitu masyarakat adil dan makmur.

Jadi, cara berpolitik yang dimainkan presiden Jokowi, tidak cocok dengan kultur politik Minangkabau yang demokratis dan egaliter. Kita pun berharap, agar masyarakat Minangkabau tidak melakukan pemberontakan yang pernah dilakukan PRRI seperti 1958 dan 1960 lalu dengan cara dan gaya yang berbeda. Semoga (Penulis waratwan tabloid bijak dan padangpos.com) 

google+

linkedin