Saya tak habis pikir dengan cara berpikirnya para wartawan di republik yang suhu politiknya kian memanas ini. Kenapa? Karena setiap memperingati Hari Pers Nasional,-- yang idenya dari Kongres PWI ke-16 di Padang, 1978 lalu---, selalu para wartawan dan petinggi di republik ini hanya berkoar tanpa memikirkan kesejahteraan wartawan. Seakan-akan para wartawan di republik ini sudah kaya raya dan sejahtera.

Padahal, akibat dari  tak adanya yang berpikir tentang kesejahteraan wartawan, maka wajar pulalah muncul berbagai nada negatif terhadap wartawan dengan sebutan beragam seperti wartawan bodrek, wartawan amplop dan wartawan abal-abal. 

Sebagai salah seorang wartawan di Ranah Minang, saya sangat setuju dengan pemikiran mantan Ketua DPR/MPR Harmoko tentang Kebebasan Pers di HPN 2017 di Ambon. Bahkan mantan Menteri Penerangan Orde Baru ini, mengingatkan wartawan dengan tiga hal. 

Yang pertama bertanggung jawab terhadap diri sendiri, yang kedua terhadap lembaga penerbitannya, dan yang ketiga, bertanggung jawab kepada masyarakat.”

Tanggung jawab kepada diri sendiri, menurut Harmoko, artinya wartawan harus selalu mematuhi kode etik jurnalistik.

Tanggung jawab kepada lembaga penerbitannya, wartawan harus menjadikan media tempatnya bekerja sebagai media yang kredibel, independen, sehingga berita-beritanya selalu dipercaya oleh masyarakat.

Tanggung jawab kepada msyarakat, artinya wartawan harus mampu membangun semangat persatuan di tengah perbedaan.

Kemudian, Harmoko menegaskan, untuk bisa memegang ketiga tanggung jawab itu, wartawan harus menguasai wawasan kebangsaan. Maksudnya, wawasan kebangsaan, sangat penting untuk menentukan cara bangsa ini mendayagunakan kondisi geografis, demokrafis, sejarah, sosio-budaya, ekonomi, politik, dan hankam demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara lahir maupun batin.
Dengan menguasai wawasan kebangsan, masih menurut Harmoko, wartawan bisa mengenali jati diri bangsanya sendiri, jati diri yang telah dirumuskan dalam lima butir Pancasila.

Katanya lagi, Pancasila harus dijadikan pandangan, pegangan, dan petunjuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ke sanalah tanggung jawab pers kita muarakan.

Selanjutnya Harmoko mengingatkan adanya Piagam Pasir Putih, hasil Konferensi Kerja PWI di Pasir Putih, Malang, 13-15 Oktober 1966. Katanya, dalam deklarasi itu antara lain disebutkan bahwa wartawan Indonesia harus memegang teguh kepribadian Indonesia, berwatak kesatria, berjiwa patriot dalam membela kebenaran dan keadilan dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Alasannya, di tengah era globalisasi yang memang tidak bisa kita hindari sesuai dengan tuntutan zaman. Globalisasi jangan membuat kita meninggalkan jati diri bangsa.

Dari pesan dan komentar Harmoko tersebut, tak satu kalimat pun menyinggung soal kesejahteraan wartawan. Dugaan saya, mungkin karena Harmoko dari sisi finansial memang sudah kaya, karena hanya Harmoko satu-satunya wartawan yang sampai kepuncak karier politik menjadi Ketua DPR/MPR. Bahkan, di Era Orde Baru siapa yang tak kenal dengan Harmoko, yang dari Ketua PWI bisa menjadi menteri penerangan. 

Padahal, kalau Harmoko saat menjadi Menteri Penerangan bisa saja "membisikan" kepada presiden Soeharto tentang kesejahteraan wartawan dengan memberikan subsidi kepada wartawan melalui dana APBN. Faktanya, ya Harmoko memanfaatkan jabatan Ketua PWI untuk kepentingan pribadi dan kroninya.

Yang ironisnya lagi, presiden selalu menghadiri acara HPN, kecuali yang HPN di Batam yang hanya dihadiri Wakil Presiden JK. Pokonya setiap memberikan kata sambutan, selalu memuja dan memuji kalau wartawan itu hebat, mitra pemerintah dan dengan segala macam pujian. 

Yang lebih ironisnya lagi, para wartawan yang dipuja puji,  terlena dan terbuai dengan mulut manis petinggi di republik ini dan bahkan pujian itu bagi wartawan  bagaikan tidur di istana di atas awan. Untuk itu, ya wajar saja, jika wartawan tak berkutik, karena biaya untuk berpesta pora di HPN 2017 di Ambo bersumber dari pemerintah, termasuk PWI Sumbar yang ikut pula menguras APBD Sumbar untuk pergi pelisir ke Ambon.

Saya yakin, dengan tulisan ini, para wartawan yang hebat sejagat akan menggerutu, mengomel dan beropini negatif pula kepada saya. Tapi ya rapopolah. Ya sudah nasiblah dipandang sebagai wartawan kroco. 

Bagi saya, tak perlu lah ke Ambon, kalau biaya harus terpaksa jadi "pengemis" dan kemudian, sekembali dari Ambo, tak punya uang lagi untuk bayar kontrak rumah dan bayar tagihan listrik dan air PDAM. Selamat HPN dan semoga HPN berikutnya berbicara kesejahteraan wartawan. (Penulis wartawan tabloidbijak)

google+

linkedin