JUJUR, saya hanya bisa tertawa cengengesan ketika mantan Ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat, Edy Utama sengaja datang ke posko BOM, mempertanyakan kenapa saya tak pergi ke Ambon untuk ikut menghadiri acara puncak peringatan Hari Pers Nasional, 9 Februari 2017 di Ambon.
Secara bergurau pun saya menjawab. "Yang pai ka acara HPN di Ambon tu, wartawan yang hebat-hebat sejagat dan punya rekam jejak pengalaman meliput berita dunia, seperti berita Perang Teluk, Perang Afganistan, Perang Vietnam dan kemudian pernah mangkal di kantor Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)."
Mendengar jawaban saya itu, kian membuat Bung Edy Utama yang budayawan, seniman dan wartawan ini mengajukan pertanyaan lagi. "Yang barangkek tu, apakah dana organisasi, dana pribadi atau APBD," kata pimpinan kelompok Telago Buni ini.
Masih saya jawab dengan bergurau sambil tertawa:"Setahu saya dana APBD Sumbar melalui Kabiro Humas Pemda Sumatera Barat."
Lantas, Edy Utama kian mempergencar "serangan" pertanyaan;" Dek kito bakawan, kalau hanya masalah dana dan biaya, padi baniah ambo jua mah," kata mantan Redaktur Kebudayaan di Harian Singgalang, Padang (1982-1984) ini sembari tertawa meledek.
Nada minor lainnya, datang dari Rosman Mucktar, seorang pengusaha sukses asal Kabupaten Pesisir Selatan. "Kalau ambo tahu Yal Aziz, tak ke Ambon karena tak punya uang, lai amuah malam ko barangkek ka Ambon dan semua keperluan biaya di Ambon, ambo yang membantunyo," kata Ketua Masyarakat Pancasila Indonesia (MPI) Sumatera Barat ini.
Pendek cerita, sore Selasa, 7 Februari 2017 itu, saya benar-benar KO alias ndak bakutik, serta mati kutu dibuek eeee, termasuk teman satu profesi saya, yang kini dipercaya gubernur jadi komisaris di perusahaan daerah.
Bagi saya, apa yang menjadi pertanyaan Bung Edy Utama itu, saya terima dengan hati yang iklas dan legowo. Kenapa? jawabanya sederhana. Jangankan saya, Gubernur Sumbar saja dikritiknya, termasuk orang-orang dekat gubernur, yang sok paham dan hebat dengan kesenian Minang.
Kemudian, ada yang lebih hebatnya lagi, ketika Bung Edy Utama juga mempertanyakan tiga kepala OPD, berangkat ke Ambon. Ketiganya, Amran dari Dinas Perhubungan, Gafar S Kepala Dinas Sosial dan Taufik Effendy Kepala DInas Kebudayaan Sumbar. Katanya, apa pula keperluan dan kepentingan ketiga OPD ini ke Ambo. "Kalau Kabiro Humas Pemprov Sumbar, Jasman Rizal okelah," kata wartawan yang juga aktif di kelompok teater ini.
Dengan jujur saya pun menjawab, untuk ketiga pejabat ini, saya no comentlah, karena ketiganya saya kenal dan bahkan saya menganggapnya teman, tapi entahlah mereka kepada saya, termasuk Kabiro Humas Pemprov Sumbar, Jasman Rizal.
Jujur, kritik Bung Edy Utama sengaja saya jadikan masukan untuk memperkaya diri dalam berkomunikasi dengan pejabat, nara sumber dan masyarakat lain pada umumnya. Bahkan saya bersyukur dan berbangga hati mendapat kritik dari seorang sekelas Edy Utama yang berlatar belakang budayawan, seniman dan juga wartawan.
Kalau kita berbicara masalah etika pergaulan dan solidaritas sesama profesi wartawan di Sumatera Barat, jawabanya, parah dan payah. Itulah faktanya. Saya setelah keluar dari grup Kompas Gramedia, hanya ada dua wartawan yang peduli dan penah serius menolong dan membantu saya, yakni Masri Marjan dan Impai. Tapi sayangnya keduanya telah dipanggil Yang Mahas Kuasa.
Bantuan Masri Marjan, saya mendapat sebidang tanah di Belimbing, yang disebut Wisma Warta 3 dan Impai, ketika saya "digiring" masuk kandang situnbin dan untung selamat, berkat bantuan Impai.
Jadi bagi saya, tak diajak atau ditawari menghadiri HPN di Ambon ndak pulalah merupakan persoalan serius dan tak akan pula mematahkan semangat saya berprofesi wartawan, karena saya sudah bertekat "Ingin Menjadi Wartawan Sampai Mati." (Penui wartawan tabloid Bijak)