BIJAK ONLINE (OPINI)-Bagaimana esensi pendidikan ala Minangkabau untuk membedakannya dengan pendidikan secara umum? Yang jelas proses pendidikan pada mulanya terjadi di dalam kaum yaitu "dari niniak turun ka mamak, dari mamak ka kamanakan". Itulah esensi pendidikan ala Minangkabau masa lalu.

Sarana pendidikan yang asli Minangkabau masa lalu itu ialah apa yang dinamakan "surau", berasal dari kata syura (arab) yang artinya"tempat bermusyawarah". Jadi, surau dapat diartikan sebagai sarana transformasi nilai yang khas Minangkabau.

Dengan demikian dapat dipahami secara sangat sederhana bahwa dalam Sistim Pendidikan Surau terdapat unsur Mamak sebagai guru, Kamanakan sebagai murid dan Surau sebagai sarana. Sedangkan bahan ajarnya adalah nilai-nilai yang dianggap berguna sebagai bekal hidup bagi generasi penerus bagi kaum yang bersangkutan.

Dulu, setiap kaum memiliki surau masing masing sebagai sarana pendidikan kaumnya, yang dikhususkan bagi kaum laki-laki. Setiap anak usia sekolah diwajibkan tinggal di surau. Sedangkan anak perempuan tinggal tetap di rumah gadang bersama ibunya. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa anak perempunan tidak mengenal pendidikan surau, melainkan Sistim Pendidikan Rumah Gadang pula.

Selain Surau Kaum, masih ada surau Suku dan Surau Kampung untuk fungsi yang sama sesuai peruntukannya. Surau Suku untuk pendidikan anggota suku bersangkutan dan Surau Kampung untuk orang kampung keseluruhan. Perlu juga dipahami bahwa pada mulanya suatu kampung dihuni oleh anggota suku yang sama, sehingga antara Surau Kampung pada hakikatnya sama dengan Surau Suku.

Ada juga pendapat yang mengemukakan bahwa "surau" telah ada sebelum Islam masuk ke Minangkabau, ketika penduduk masih beragama Hindu, sehingga bentuk atap surau berundak seperti rumah ibadah orang Hindu. Namun setelah mereka menganut Islam, bangunan itu tetap digunakan sebagai tempat sholat, disamping fungsinya sebagai sarana pendidikan.

Di zaman Hindu pula; pada masa  Adityawarman berkuasa malah ada pendapat yang mengemukakan bahwa surau adalah tempat penggemblengan pamong-praja seperti STPDN yang kita kenal sekarang. Menurut  Prof. Raudha Thaib di masa Sulthan Alif Raja Pagar Ruyung pertama menganut agama Islam; didirikan banyak surau untuk mendidik para pemimpin agama, sehingga orang Minangkabau memiliki banyak ulama yang akhirnya sebagian merantau untuk berdakwah. Inilah cikal-bakal orang Minang dikenal sebagai guru guru agama di seantero Nusantara.

Di masa Syech Burhanuddin berkembang pula spesialisasi pendidikan surau yang dipimpin oleh ahli masing-masing seperti surau yang khusus mengkaji Tarikat, Fikih, Hadits dan lain-lain dengan imamnya masing-masing dan tersebar di berbagai kawasan di Minangkabau ini. Imam Besar Masjidil Haram Syech Ahmad Chatib Al Minang-kabawi tidak memiliki surau sendiri di kampung halamannya, tetapi murid-murid beliau Syech Ibrahim Musa di Parabek, Syech Sulaiman Ar-Rasuli di Canduang dan Syech Moh. Jamil Jambek di Tangah Sawah mempunyai surau dengan spesialisasi pendidikan agama masing-masing. Bahkan dua Ulama Besar Nusantara pendiri dua Ormas Islam Raksasa Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah; KH. Hasyim As'ary dan KH. Ahmad Dahlan menjadi pemimpin pesantren yang berbeda.

Di zaman pergerakan, lahirlah tokoh-tokoh pergerakan nasional Tan Malaka, Agussalim, Abdul Muis, Hamka, Moh. Hatta, M. Natsir dengan latar belakang pendidikan berbeda akan tetapi diduga semua berbasis Pendidikan Surau. Apa keistimewaan mereka. Semua mereka diakui sebagai Pahlawan Nasional dari partai politik yang tidak sama, terinspirasi dari pendidikan surau dengan filosofi ABS-SBK.

Filosofi ABS-SBK sendiri sebenarnya merupakan sinthesa antara ajaran adat dan ajaran agama Islam yang unsurnya ada yang barbenturan. Di antara unsur yang berbenturan itu antara lain adalah hukum faraid dengan tanah ulayat, peran mamak dengan peran ayah dalam keluarga dan sistim matrilineal bahkan aspek ekonomi syariah yang sangat alot untuk mencapai konsensus.

Diantara unsur yang paling cepat penyesuaiannya adalah masalah aqidah; di mana sebelum Islam masuk orang Minang telah memiliki konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dan sistim kemasyarakatan seperti diungkapkan dalam bidal "kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mupakaik, mupakaik barajo ka nan bana, nan bana badiri sandirinyo, dimakan alua dengan patuik". Makna inti dari bidal ini ada dua; yaitu sistim musyawarah dan monotheisme.

Sistim kemasyarakatan yang mengedepankan bodhi bersintesis dengan monoteisme melalui proses "tesis-antitesis-sintesis" menghasilkan ABS-SBK khas Minangkabau dan malah jadi rujukan beberapa kultur Nusantara seperti Aceh dan Gorontalo. Hikmah Islam sebagai "rahmatan lil alamin" yang bermakna bahwa Agama Islam bukan hanya untuk yang beragama Islam; melainkan untuk alam semesta secara diam-diam merasuk ke dalam sanubari orang Minangkabau sehingga menjadi "inklusif" dalam ungkapan "dima bumi dipijak disitu langik dijunjuang".

Perantauan anak Minang bukan "rantau langau" yang menebarkan penyakit akan tetapi menjadi "rantau lebah" yang mengisap madu sambil menebar serbuk sari tanpa mematah ranting. Dalam proses perjalanan waktu melalui pengayaan kultural nasional dan internasional terjadi degradasi peran dan fungsi surau sebagai sebatas rumah ibadah; untuk kemudian menjadi surau tua yang tersisih di sudut-sudut dusun. Orang lupa akan jasa surau sebagai sarana transformasi nilai yang begitu dalam meninggalkan jejak sejarahnya. Bahkan kita tertipu dengan judul sebuah prosa "runtuhnya surau kami" dengan pesan yang bias.

Tiba-tiba kita sibuk dengan berbagai ungkapan pragmatisme, liberasisme, hedonisme, materialisme, permisivisme dan segala pengaruh luar yang telah memporak-porandakan moralitas anak bangsa, menghilangkan jati diri serta mencari upaya pembangunan kembali karakter bangsa dan membangkit kembali nilai-nilai lokal, termasuk ABS-SBK.
Disini kiranya diperlukan pengenalan kembali esensi Pendidikan Surau.

Di sekitar sistim pendidikan surau sebenarnya masih ada sistim pendidikan lain yang berfungsi di Minangkabau masa lalu. Kalau pendidikan surau jelas dan nyata diperuntukan bagi anak laki-laki menjelang dewasa; maka Rumah Gadang dijadikan sarana pengkaderan anak  perempuan menjadi Bundo Kanduang. Sedangkan Bundo Kanduang sendiri ialah sebuah konsep perempuan paripurna di Minangkabau sehingga ia disimbulkan sebagai sosok ibu teladan yang amat sempurna seperti tercermin dalam ungkapan "limpapeh rumah nan gadang".

Lembaga pendidikan keterampilan khusus bela diri bagi anak yang bergerak dewasa disebut "sasaran silek". Untuk peragaan silek menjadi atraksi yang dipertontonkan ia beralih menjadi "galanggang pamedanan". Sedangkan untuk belajar ilmu kebatinan atau ilmu hitam biasanya sang murid diminta  bertandang ke "dangau" yang merupakan tempat khusus di mana sang guru mengasingkan diri.

Sistim pendidikan Surau menjadi inti pendidikan di Minangkabau, bahwa yang menjadi dasar pendidikan ialah pendidikan moral dan akhlak yang erat kaitannya dengan ajaran syariah; sehingga kalau syariah sebagai basis telah dikuasai maka implementasinya dalam bantuk adat akan mengikuti di belakangnya sehingga ABS-SBK dikunci dengan "syarak mangato adaik makai".

Menurut DR. Muchtar Naim ada masa pasang surut peran Surau pasca peristiwa pergolakan daerah PRRI, di mana surau sudah ditinggalkan fungsi pendidikannya kecuali fungsi domisili para lelaki yang tidak memiliki rumah tangga, termasuk "urang patah sayok".

Tentang konsepsi patah sayok ini, sebenarnya kata "sayok" merupakan kata ganti dari "SDM" seseorang; "kalau sayoknyo panjang tabangnyo jauah". Artinya bila seseorang SDM nya baik ia akan mampu merantau jauh; makin panjang sayap makin jauh terbangnya.

Diantara perantau itu tentu ada yang gagal "sejauh jauh terbang bangau baliknya ke kubangan jua". Jika si patah sayap pulang kampung ia kembali tinggal di surau; dan surau dijadikannya basis untuk berafiliasi dengan "si sayap pendek", maka kampung itu berkembang sub kultur negatif yang justru merusak peradaban. Di sinilah muncul pemikiran "baliak ka surau" agar surau difungsikan kembali membangun peradaban yang telah runtuh itu.

Revitalisasi Pendidikan Surau sebenarnya merupakan upaya bersama kita menggali peran pendidikan surau yang selama ini telah membentuk sebuah peradaban dan dalam pasang surutnya dikhawatirkan justru merusak peradaban itu sendiri. Kini kita bertekad mengembalikan peran transformasi nilai dari Sistim Pendidikan Surau dengan konsepsi baru sesuai perkembangan zaman. (****)

google+

linkedin