BIJAK ONLINE (OPINI)-Meskipun pemilihan Gubernur Sumbar akan digelar, 9 Desember 2015 mendatang, namun persoalan pilgub Sumbar elah menjadi gunjingan masyarakat dengan berbagai latar belakang, yang berceloteh, baik di warung-warung atau pun di dunia sosial facebook ataupun twitter, maupun media massa cetak serta online.

Yang lebih menarik perhatian, setiap calon yag berambisi maju di pilgub Sumbar, sudah mendaftar keberbagai partai, sehingga menjadi berita hebat bagi media massa  yang ikut ambil bagian dalam pencitraan sang calon yang tanpa tedeng aling-aling  mengumbar berbagai janji  politisnya. 

Kini, begitu banyak sosok calon gubernur yang muncul untuk dipilih masyarakat, ado yang lah gaek, ado yang masih mudo dan ado pulo yang masih berkuaso, ado yang alun ado apo-apo, sehingga membuat sebagian masyarakat bingung mau pilih yang mana. Soalnya, janji-janji politik yang disodorkan, boleh dikatakan hampir sama, yakni masalah adat ataupun budaya.

Keberadaan ninik mamak, pemangku adat, serta para pendekar, sejak enam bulan lalu sangat laris manis menjadi bahan gunjingan masyarakat. Soalnya, semua calon gubernur yang akan ambil bagian di pilgub Sumbar, semuanya melakukan pendekatan kepada para ninik mamak dan membawa janji akan peduli adat, melestarikan adat dan bahkan ada yang berani terang-terangan membawa Provinsi Sumatera Barat menjadi Daerah Istimewa Minangkabau alias DIM.  

Pendekatan yang dilakukan masing-masing calon gubernur Sumbar tersebut, tak hanya sebatas menggelar berbagai kejuaraan pencak silat, tetapi juga melaksanakan berbagai seminar, lokarya, diskusi masalah adat istiadat. 

Terlepas dari pola dan cara yang sedang dilakukan oleh para calon gubernur Sumbar tersebut, yang jelas kita harus atau mesti mesti memilih pemimpin yang jujur, yaitu jujur terhadap diri sendiri, maupun orang lain. Jujur dengan kekuatan yang dimiliki, sadar akan kelemahan dalam dirinya, serta berusaha untuk memperbaikinya.

Dewasa ini, memilih pemimpin yang adil sangatlah sulit, jika dibandingkan dengan kriteria lainnya. Kebanyakan pemimpin sekarang gayanya membela untuk kepentingan rakyat, namun dibalik itu rakyat dibikinnya sengsara, demi kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.

Kemudian, kita pun harus memilih pemimpin atau gubernur yang pandai dan cerdas. Soalnya, orang pandai belum tentu sama dengan orang cerdas. Orang pandai ialah orang yang dapat menjawab semua persoalan dengan ilmunya, seperti kecerdasan berhitung, ilmu teknologi yang bersangkutan dengan kecerdasan Intelektualnya (IQ). Namun orang cerdas mampu membaca keadaan, mencari kesempatan di tengah kesempitan, kalau orang Minangkabau mengenalnya dengan orang yang arif dan bijak. Orang cerdas/arif bijaksana bukan hanya pandai, tapi juga dapat berpandai-pandai demi kemaslahatan rakyatnya. Itulah beda orang pandai dengan orang cerdas atau arif dan bijaksana.

Sebagai pemilih kita mesti cepat tanggap dalam menilai, mana pemimpin yang pandai dan cerdas, mana pemimpin yang cuma pandai. Orang yang banyak bicara dan banyak mengumbar janji.

Dari sekian banyak syarat untuk menentukan pilihan kepada pemimpin, ada cara faktis untuk menuntunnya. Caranya, sebagai pimilih kita bisa bertanya dan mengamati sang calon gubernur tersebut, memimpin rumah tangga dan berhubungan baik dengan para tetangga. Betapa hebat dan pintarnya sang calon pemimpin, kalau anaknya terlibat narkoba, hubungan sek bebas, haruslah  menjadi catatan hitam bagi kita pemilih. Bahasa tegasnya, sosok pemimpin di Sumatera Barat mendatang, haruslah sosok yang berhasil memimin rumah tangga dan keluarganya. Begitu juga kataatannya kepada Allah, dengan melaksanakan shalat lima waktu, puasa, berzakat, serta menunaikan ibadah haji.

Yang tak kalah pentingnya, sosok pemimpin di Sumatera Barat, sosok yang paham dan mengerti masalah Adat Basandi Syarak dan Syarak Basandi Kitabullah. (penulis adalah wartawan tabloid bijak). 

google+

linkedin