JUJUR, saya sungguh tak menyangka jika persoalan surat LSM Mamak yang saya buat tahun 2010 lalu, menjadi bahan pembicaraan publik Ranah Minang Sumatera Barat, pasca Pilkada Serentak, 9 Desember 2015 ini.  

Yang membuat persoalan itu menjadi heboh dan menjadi perhatian publik, karena pasangan MK-FB disinyalir menjadikan surat LSM Mamak Nomor:29/LSM-MMK/IV/2010 tanggal 26 April 2010 sebagai salah satu kosumsi politik untuk menohok pasangan IP-NA yang berdasarkan pengumunan KPU Sumbar memperoleh suara terbanyak. Rinciannya, IP-NA memperoleh suara 58,62 persen dan MK-FB, 41,38 persen.  

Tanpa bermaksud mengungkit masa lalu,  yang jelas pada tahun 2010 lalu itu, saya mempersoalkan ijazah calon Bupati Pesisir Selatan, Nasrul Abit. Waktu itu, saya mempersoalkan beberapa kejanggalan pada ijazah Nasrul Abit, karena ditemui fakta  perbedaan nama orang tuannya pada ijazah yang dimilikinya. 

Kemudian surat yang saya kirim ke Panwaslu Pessel itu prihalnya, saya minta penjelasan tentang ijazah Cabup Nasrul Abit yang saya nilai cacat administrasi. Jadi perlu saya tegaskan, bahwa saya tidak pernah menulis atau menyebutkan ijazah Nasrul palsu. Kenapa? Karena saya tidak punya ijazah yang aslinya, sebagai pembandingnya. Untuk itu, makanya, saya tidak berani menyatakan atau menuduh ijazah Nasrul Abit itu palsu.

Sebagai orang yang pernah memulainya, tentu saya juga harus terlibat untuk mengakhirinya, tentang gonjang ganjing masalah ijazah Nasrul Abit yang dikatakan, dituduh, dipersoalkan dengan fitnahan, ijazahnya PALSU. 

Setelah lima tahun berlalu, saya tiba-tiba diminta oleh penyidik Reskrim Polda Sumbar untuk memberikan kesaksian sebagai saksi dari laporan Nasrul Abit yang merasa namanya terusik dengan hasil kajian laporan dari mantan Kepala Divisi Hukum dan Penanganan Pelanggaran Panwaslu Pessel, Bustanul Arifin. Kenapa saya jadi saksi? Karena surat LSM Mamak 2010 lalu, diduga dijadikan lawan politik Nasrul Abit untuk menohok dan menjenggal langkahnya.

Tapi, sangat disayangkan, surat LSM Mamak tertanggal, 26 April dengan Nomor:29/LSM-MMK/IV/2010, dipergunakan sebagai barang bukti oleh Bustanul Arifin yang diduga menambah dan merubah isi surat tersebut.  Konon kabarnya, surat tersebut, diserahkan Bustanul kepada Tim Sukses MK-FB.

Perubahan itu saya lihat dari data yang ditulis pada angka empat. Laporan yang pernah diberikan kepada saya, hanya tertulis Drs Nasrul Abit . Tapi  yang diperlihat penyidik kepada saya, muncul ada tambahan nama Nasrul Abit tertulis dalam kurung Cabub Nomor urut 5. Padahal Nasrul Abit waktu Cabub Nomor Urut 2.

Selanjutnya terjadi lagi perubahan tentang  jumlah halaman kajian laporan yang pernah diberikan Panwaslu Pessel kepada saya. Jumlah halaman  yang diberikan kepada saya hanya empat halaman dan faktanya sekarang lima halaman.

Saya pun bertambah kaget. Kenapa? Karena hasil kajian laporan yang lain, juga ada penambahan point pada hasil kajian fakta dan keterangan. Surat yang diberikan kepada saya, hanya membuat enam point dan faktanya  ada penambahan menjadi delapan point. 

Penambahan point tersebut meliputi, bahwa tidak berwenangnya lembaga yang melegalisasi/mengesahkan. Foto copy STTB, SD, ST, dan STM. Kedua keterangan dari Nasrul panggilan Irul anak Ali Umar teman sama sekolah dan H M Dinar guru ST Negeri 2 di Kambang Balai Selasa. 

Yang mengagetkan saya lagi, di Kesimpulan hasil kajian laporan Panwaslu Pessel, saya menemukan data perubahan. Berdasarkan surat yang diperlihatkan penyidik polisi kepada saya, ada kalimat;"Bahwa terindikasi yang punya STTB SD dan ST dan STM adalah dua orang."

Kini persoalan perubahan surat yang ada sama saya dengan dokumen yang sama penyidik Reskrim Polda Sumbar, terjadi perbedaan. Bagaimana duduk persoalan yang sebenarnya, kita tunggu saja hasilnya dari penyidik Reskrim Polda Sumbar. Karena persoalan ini sudah masuk ranah hukum pidana, mari kita hormati saja. (penulis wartawan tabloid bijak dan padangpos.com)      



google+

linkedin