JUJUR, saya memang tidak pakar hukum atau pratiksi hukum. Tapi, saya banyak punya teman yang sudah profesor dan doktor di bidang hukum. Untuk itu, wajar saja kalau saya berani menilai kalau sidang gugatan MK-FB paslon yang kalah di Mahkamah Konstitusi itu bagaikan sidang mancit-mancit. Kenapa? Karena materi gugutan tim hukum MK-FB yang dipercayakannya kepada seorang pengacara tunggal yang bernama Ibrani SH MH, hanya pandai bertitorikan dan beramsumsi di ruang sidang Mahkamah Konstitusi tersebut.

Penilaian saya itu, karena  pengacara Ibrani menyebutkan dalam surat gugatannya, menvonis hasil suara pemilih yang diperoleh paslon IP-NA, 9 Desember 2015 lalu dikatakannya DIKUALIFIKASI. Namun sayangnya, dasar dan alasan Ibrani, menuduh paslon IP-NA melakukan perbuatan yang curang, sistemik dan masif, tanpa didukung fakta yang akurat atau A1 dan hanya berupa kliping koran, copy paste berita online dan termasuk surat LSM Mamak yang isinya sudah tak sesuai dengan surat  yang diberikan Panwaslu Pessel kepada LSM Mamak  dan KPU Pessel.

Diantara materi gugutan Tim Hukum MK-FB tersebut, dikatakan kalau matan Gubernur Sumbar, Prof Dr Irwan Prayitno PSi Msc  dan mantan Bupati Pessel kepada Nasrul Abit, menafaatkan jabatannya dulu melakukan kecurangan.

Selanjutnya disebutkan juga kalau persoalan ini, juga telah dilaporkan ke Bawaslu Kota Padang, Bawaslu RI, KPU RI, PTUN, Kabareskrim Mabers Polri, DKPP, Menpan.

Sebagai salah seorang pendengar di ruang sidang Mahkamah Konstitusi tersebut, saya juga dapat memaklumi pertanyaan hakim yang terhormat kepada Ibrani. “Apa persoalan yang masuk materi gugatan ini sudah dolaporkan ke gakkumdu atau panwaslu,” tanya hakim.

Ibrani menjawab.”Sudah tapi tidak direspon atau diabaikan, makanya kami membawa persoalan ini ke mahkamah Konstitusi.”

Kemudian hakim bertanya lagi.”Apakah ada data tentang selisih perolehan suara.”

Dijawab Ibrani;”Ada pak hakim yang mulia, dalam Barang Bukti yang diberikan tadi.”

Dari jawabkan Ibrani, kalau menurut saya tersirat atau bahasa ekplistnya, kalau persoalan materi gugatannya masuk wilayah hukum gakkundu atau panwaslu.

Tentang pernyataan Ibrani yang mendiskualifikasi, dinyatakan paslon nomor urut 1 MK-FB memperoleh suara 639.336 dan paslon IP-NA diskuialifikasinya, (915.385) dengan suara pemilih 1.554.21.

Sedangkan berdasarkan hasil penetapan KPU Sumbar, Irwan Prayitno–Nasrul Abit (IP-NA) unggul dengan perolehan 1.175.858 suara atau 58,62 persen dari jumlah suara yang masuk. Sedangkan paslon nomor urut 1, Muslim Kasim–Fauzi Bahar (MK-FB) hanya unggul di 2 kabupaten. Keduanya merajai Kabupaten Padang Pariaman dan Kepulauan Mentawai.
Jika ditotal dari 19 kabupaten dan kota yang ada, MK-FB hanya memperoleh 830.131 suara atau 41,38 persen dari total suara yang masuk.
Dari fakta tersebut, ada perbedaan perolehan suara kepada paslon MK-FB dan paslon IP-NA. Sayangnya, Ibrani tidak merinci secara tabel dan daerah mana saja yang masuk hitungannya.

Secara legal formal, saat penghitungan suara di TPS, semua saksi MK-FB telah menandatangani berita acara terhadap semua hasil perolehan suara. Hanya saja, saat di KPU, memang  paslon MK-FB tidak mau menandatangani berita acara dengan berbagai alasan dan argumentasi. Seharusnya, jika paslon MK-FB mau memperkarakan hasil Pilgub, idealnya semua saksinya disemua TPS di Sumbar, juga harus tidak menandatangani berita acara.

Kemudian, kenapa semua yang dipersoalkannya dilakukan setelah hasil penetapan KU Sumbar. Ada apa dan kenapa?

Kini, persoalan sengketa itu sudah berada di mahkamah Konstitusi dan sidang perdananya sudah berlangsung, Jumat, 7 Januari 2016 dan sidang keduanya, Selasa, 12 januari mendatang untuk mendengar jawaban KPU dan tim hukum IP-NA yang beranggotakan Syaiful SH Mhum, Dede dan Hadi.

Sebagai masyarakat Sumatera Barat yang taat hukum dan sadar berdemokrasi, alangkah baiknya kita tunggu saja hasil dari Mahkamah Konstitusi. Pilihan boleh beda dan persaudaraan harus tetap dijaga. (Penulis wartawan Tabloid Bijak dan padangpos.com) 

google+

linkedin