TAMPAKNYA, dampak politik praktis Pilkada Sumatera Barat, Desember 2015 lalu masih punya catatan tersendiri bagi kalangan wartawan, budayawan dan seniman, yang berseberangan politik dan pilihan pada pilkada lalu itu.  Kenapa? Karena saya tak melihat batang hidungnya wartawan, budayawan dan seniman pada acara berbuka bersama Gubernur Sumatera Barat, di Auditorium Gubenuran Sumbar, Minggu, 19 Juni 2016.

Padahal, Prof Dr H Irwan Prayitno Psi Msc, yang berpasangan dengan Nasrul Abit sudah berkali-kali menegaskan;"Biduak lalu kiambang batawuik". Maksudnya Gubernur Sumbar dan wakilnya, mengajak semua elemen masyarakat untuk bersatu membangun Sumatera Barat dari segala lini. Tapi faktanya, para wartawan, budayawan dan seniman masih menyisakan "dendam politik" yang saya tak tahu entah sampai kapan akan berakhirnya.

Yang jelas sebagai seorang wartawan, jujur saya pun merasa  galau dan risau dengan kondisi, masih adanya "dendam politik" ini. Kenapa? Karena kalangan wartawan, budayawan dan seniman,  punya peran dan peranan penting dalam membangun daerah ini. 

Tapi dari fakta yang ada, saya juga tak habis pikir, kenapa para wartawan, budayawan dan seniman ini kurang berkenan meluangkan  waktunya untuk bertemu ramah, bersilaturrahmi dengan Gubernur Sumbar dan sesama profesi. Padahal, bulan suci Ramadhan, sangat tepat dimanfaatkan untuk saling maaf memaafkan. 

Pada tulisan ini, tak etis jugalah saya menyebutkan sosok wartawan, budayawan dan seniman yang tak menampakan batang hidungnya itu. Soalnya, saya rasa para wartawan, budayawan, serta seniman yang hadir bisa menilai dan mengambil hikmahnya. Kenapa? Karena "perang politik" plkada lalu, tak hanya terjadi didarat, tetapi juga terjadi di media online, apakah itu media sosial feca book, twitter dan whatsApp dan saya yakin semua wartawan, budayawan dan seniman mengetahui masalah itu. (Penulis wartawan tabloidbijak dan padangpos.com)

google+

linkedin