Wakil Bupati Solok, Yulfadri Nurdin, saat memberi kata sambutan dihadapan masyarakat Gaung usai ziarah kubur dan syukuran nagari setempat, Selasa, 12 Juli 2016.

BIJAK ONLINE (SOLOK)-Ziarah kubur atau mendo’akan kerabat yang sudah meninggal, mungkin tidak akan asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Namun di Nagari Gaung, kecamatan Kubung, Kabupaten Solok, tradisi ziarah kubur dilakukan selama satu Minggu, mulai hari pertama lebaran hingga hari ketujuh lebaran. Hal tersebut berlangsung sejak dari zaman dulu kala.
Bagi masyarakat Gaung, tradisi ini sudah dianggap sakral dan tetap dipertahankan sejak ratusan tahun silam untuk mengirim do’a kepada para arwah leluhur di lokasi pandam perkuburan yang ada di nagari paling kecil dan berada paling Timur di kecamatan Kubung tersebut. 

Meski bagi masyarakat di nagari lain, momentum lebaran digunakan untuk bersilaturrahmi dengan mengunjugi sanak saudara dan mengunjungi lokasi wisata yang ada di Sumbar, tapi bagi mayoritas masyarakat Gaung yang berjumlah sekitar 2000 ini, lebaran digunakan untuk introspeksi diri, dengan mendo’akan arwah para leluhur di lokasi perkubura. Moment seperti ini, ternyata sudah banyak diabadikan oleh media internasional dan menjadi wista religius bagi masyarakat setempat. 

Lokasi Pandam Perkuburan yang paling ramai dikunjungi diantaranya, Pandam Guguk Limau Sirek, Jorong Gelanggang, Tampek Gadang, Jirek Tapuih, Kubang Epoh, Jorong Bansa, hingga hari terakhir Jirek Jauah dan Jirek Gadang di Jorong Bansa. Ratusan masyarakat terlihat begitu antusias mengkikuti jalannya ritual unik tersebut. Tanpa terkecuali diantaranya kalangan muda-mudi, anak-anak, tua muda, ikut larut dalam balutan suasana yang penuh kekeluargaan ini.

Dalam satu hari,ziarah kubur ini bisa berlangsung di dua sampai empat lokasi berbeda, dengan sistem pelaksanaan dilakukan secara bergantian. Upacara adat tersebut biasanya dimulai pagi hari, berakhir petang hari, tergantung seberapa banyak jumlah lokasi yang dijadwalkan hari itu. Begitu seterusnya, satu sama-lain larut dalam suasana peuh hikdmat. Secara garis besar, Nagari Gauang memiliki tiga kaum adat, yakni kaum suku Caniago, Supanjang, dan suku Koto. Masing-masing kaum punya sejumlah pandam pekuburan, dengan sistem pembagian sudah diatur sesuai garis keturunan, maupun sako dan pusako. Seirama alur garis keturunan dari kepala waris/ kaum, ibarat buah durian masing-nya punya ruang-ruang. 

Meski secara Geografis Nagari Gauang berbatas langsung dengan kota Solok, namun tradisi ziarah kubur atau masyarakat setempat menyebutnya “Rayo Katampek”, masih tetap dipertahankan sampai sekarang. Secara sosial ekonomi nagari terlihat biasa-biasa saja, namun warganya mampu bertahan dengan seabrek nilai-nilai tradisi, adat dan budaya yang diwarisi secara turun-temurun. Salah satu bentuk kearivan lokal yang dipertahankan adalah ziarah kubur ini dan mulai dilaksanakan usai salat Idul Fitri 1 Syawal setiap tahunnya. 

Karena nuansa religiusnya yang tinggi, Wakil Bupati Solok yang melakukan Tim Safari Ramdhan pada pertenghan bulan puasa lalu ke masjid Raya Gaung, berjanji akan hadir untuk menyaksikan secara langsung acara sakral tersebut. Janji Wakil Bupati Solok, Yulfadri Nurdin ini, ditepati pada saat penutupan ziarah Kubur pada Selasa tanggal 12 Juli 2016 kemaren. “Saya sudah berjanji akan hadir dan menyaksikan secara langsung tardisi masyarakat Gaung ini. Dan ternyata ini benar-benar luar biasa dan bisa lebih mendekatkan diri kita kepada Sang Pencipta Alam dan bisa mendo’akan para leluhur kita. Ini benar-benar bisa menjadi contoh oleh masyarakat nagari lain,” terang Yulfadri Nurdin berkaca-kaca. 

Selain Wabub Solok, juga hadir Wakil Ketua DPRD Kabupaten Solok, Septrismen Sutan Putih, Camat Kubung Feri Hendria, Walinagari Gaung, Rizal Idzeko, Tokoh pemuda Gaung, Madra Indrawan, niniek mamak dan cadiak pandai nagari setempat serta ribuan masyarakat Gaung. Wabub Solok itu meminta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Solok untuk mempromosikan wisata religius yang datang satu kali setahun ini. “Kegiatan semacam ini bisa ditru oleh nagari lain pada saat usai Idul Fitri, lebih baik ziarah kubur dari pada bermacet ria ke Singkarak atau ke Bukittinggi,” jelas Wakil Ketua DPRD Kabupaten Solok, Septrismen.

Begitu pihak sipangka helat tiba, upacara Rayo Katampek pun dimulai. Diawali dengan ritual balaho (tahlilan), berbalas pantun adat, pembacaan doa. Dipertengahan ritual, juga dilangsungkan pembagian jamba pada segenap tamu yang datang, disertai pengumpulan infak/sedekah untuk pembangunan Masjid oleh rajo Janang, yakni anak laki-laki dari keluarga laki-laki kaum bersangkutan. Nasi bungkus dan beraneka macam makanan yang dibagi-bagikan tersebut disiapkan oleh masing-masing kaum selaku ahli waris. Tidak memandang apakah itu orang miskin, kaya, berpangkat, rakyat biasa, semuanya diberi jamba. Menurut Walinagari Rizal Idzeko, jamba yang dibagi-bagikan ke pengunjung diimplementasikan sebagai sedekah. 

“Pahalanya jelas diniatkan untuk para anggota keluarga yang telah meninggal sekaligus bermakam di pandam perkuburan tersebut. Rayo Katampek ini juga sekaligus menjadi ajang ritual akbar ziarah kubur, serta perekat tali silaturrahmi, kekeluargaan antar sesama warga di Gaung ini,” terang Walinagari. Disebutkan Walinagari Rizal Idzeko, meski mayoritas penduduknya bertani kakao dan karet, namun mereka tetap mempertahankan tradisi ini. 

Tujuan dari ziarah kubur yang diikuti prosesi memanjatkan doa, tahlilan massal. Ritual ini dianggap penting dan tetap harus dilaksanakan mengingat jasa para leluhur begitu besar bagi anak cucu, hingga patut untuk tetap dikenang dan dihargai. Sekaligus sebagai simbul tegaknya adat basandi syara, syara basandi kitabullah. “Betapa susahnya dahulu mereka mengolah hamparan bumi ini dalam pekatnya belantara, hingga akhirnya berhasil dijadikan sawah dan ladang untuk digarap oleh anak-cucu. Hal itu perlu kita renungkan dan kita kirimi mereka do’a agar kubur mereka dilapangkan,” jelas Tokoh masyarakat setempat, Madra Indriawan (wandy)

google+

linkedin