JUJUR, saya pun tak tahu percis berapa jumlah anak bangsa ini yang mengaku-ngaku berprofesi sebagai wartawan. Soalnya, yang mengaku-ngaku sebagai wartawan tersebut, juga banyak yang mengikuti acara puncak Hari Pers Nasional 2016, yang kegiatannya dilaksanakan, di Lombok Nusa Tenggara Barat, 9 Februari 2016. 

Kenapa saya berani mengatakan banyak yang mengaku-ngaku wartawan? Karena setahu saya, wartawan itu adalah profesi, sebagaimana profesi dokter punya asosiasi untuk berserikat atau berumpul. Kalau wartawan, wadahnya tak hanya PWI, tetapi juga AJI (Asosiasi Jurnalis Indonesia) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) yang terdaftar di Dewan Pers. Tapi kalau yang tak terdaftar di Dewar Pers, mungkin puluhan jumlahnya.

Kemudian, yang dikatakan wartawan tersebut, adalah seseorang yang aktifitas sehari-harinya membuat atau menulis berita dan bukan menulis feature, puisi dan cerpen atau tulisan berbentuk opini lainya, seperti yang sering ditulis  Gubernur Sumbar terpilih Prof DR H Irwan Prayitno diberbagai media cetak harian di Kota Padang. 

Jadi pengertian berita kalau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cerita atau keterangan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat. Berita juga berarti laporan. Ada juga yang mengatakan berita adalah informasi baru yang disajikan dalam pembacaan dan penulisan yang jelas, actual (terkini), dan menarik.

Kemudian, ada juga yang mengatakan, berita adalah laporan peristiwa atau pendapat yang actual (terkini), menarik, penting, serta cermat dalam fakta. Dengan kata lain, berita merupakan laporan fakta. Maksudnya, dalam berita haram adanya opini.

Jadi bahasa tegasnya, profesi wartawan itu, seseorang yang pekerjaannya mencari, mengumpulkan fakta, data untuk ditulis menjadi berita dengan tujuan memberikan informasi yang cepat, akurat dan sesuai dengan Unadang-undang Pokok Pers dan Kode Etik Jurnlistik.

Lantas timbul pertanyaan, seseorang mengaku wartawan, tetapi yang bersangkutan PNS atau pengusaha, aktifis LSM dan macam-macam profesi lainnya. Tapi kalau yang bersangkutan menulis dan membuat berita, ya sebut sajalan setengah wartawan dan setengah lagi PNS atau setengah lagi pengusaha. Kenapa? Karena tidak ada aturan tegas sampai saat ini dari Dewan Pers.

Aneh dan lucu, jika di zaman yang serba canggih ini, masyarakat dan pejabat publik masih tidak bisa juga membedakan mana yang wartawan dan pula yang ngaku-ngaku wartawan dan berprilaku abal-abal. Yang jelas, orang yang ngaku-ngaku wartawan, so pasti tidak akan mampu membuat berita, meskipun yang bersangkutan mampu menulis buku ilmiah, cerpen, cerbung dan karya ilmiah tulis menulis lainnya. 

Kenapa? Karena menulis berita itu punya gaya dan cara tersendiri dan ada pula rumusnya. Kuncinya, kebiasaan menulis berita dan makanya yang membedakan wartawan pemula dan senior hanya jam terbang. Soalnya, begitu hari ini seseorang bergabung di media cetak harian, atau media televisi, yang bersangkutan sudah disebut wartawan, sama dengan senior-seniornya yang telah bertahun-tahun jadi wartawan. 

Dunia wartawan di zaman penjajahan, kemerdekaan atau orde lama, orde baru dan era reformasi jauh berbeda. Kalau dulu di kenal pers perjuangan, dan di era reformasi dikenal dengan pers industri. Maksudnya produk media disebut hasil industri informasi yang diperjualbelikan sesuai dengan harga eceran media tersebut.

Berbisnis di media, memang lebih sudah dari pada jualan mudo, seperti sayur-sayuran. Kalau media cetak harian, koran yang terbit hari ini, tak bisa lagi dijual esoknya. Tetapi kalau sayuran masih bisa dua hari atau tiga hari tergantung komoditi sayurnya.

Jadi, mau tidak mau, suka atau tidak suka, pertumbuhan media cetak di awal reformasi, bisa dikatakan bagaikan cendawan tubuh dimusim hujan. Kini, satu persatu media masa cetak itu hilang bak ditelan bumi. Jika ada yang bertahan, sudah bisa dikatakan manajemen perusahaan itu baik dan memanfaatkan bisnis lainnya untuk menopang keberadaan medianya. Bahkan, keberadaan medianya lah yang dijadi "urang bagak" untuk memaksa atau mengintimidasi pejabat dan pengusaha agar mau membantu usaha lainnya tersebut. Jika tidak, terimalah pemberitaaan negatif.

Yang ironisnya, pemilik koran atau media, bisa menikmati kehidupan mewah dan berfoya-foya, tapi yang namanya si wartawan yang dijadikannya "ajing pelacak" masih saj dibayar atau dihargai tak manusiawi atau profesional. Anehnya, meskipun diperlakukan seperti "anjing pelacak" tersebut, masih banyak yang mau dan bertahan sebagai wartawan.

Yang lebih memilukan lagi, meski tak jelas gajinya di media tempatnya bekerja, tapi masih mau juga menjadi wartawan dan mengaku-ngaku wartawan. Sulusi bagi si waratwan dan ngaku-ngaku wartawan tersebut, karena ada pola "manaduak" sebuah istilah yang populer dikalangan wartawan. Makanya, SKPD yang basah atau pejabat yang berprilaku korup, akan dikunjungi puluhan wartawan setiap harinya. Bagi pejabat yang galir, atau tukang kibus juga, jarang masuk kantor dan kalau taparogok, dibuatnya alasan yang beragam

Dunia wartawan bergoncang, teruma bagi yang mengaku-ngaku wartawan semenjak Bagir Manan mantan Ketua Mahkamah Agung jadi Ketua Dewan Pers. Kenapa? Karena Bagir Manan menerapkan pola Uji Kopetensi Wartawan (UKW) bagi setiap wartawan. Bahkan dalam surat ederannya, pejabat publik atau nara sumber lainnya, boleh tak melayani wartawan yang belum UKW.  Tapi pada pelaksanaannya, masih tinggal tiori dan himbauan. 

Sebagai Dewan Pers, sampai saat ini, Bagir Manan belun satu pun mencabut kartu UKW bagi wartawan yang melakukan pelanggaran etik. Akibatnya, membuat anak bangsa leluasa mengaku-ngaku wartawan dan tak mau mengaku presiden. Padahal, presiden lebih kaya an berkuasa. Jawabnya, tentu, kalau ngaku wartawan kan banyak wartawan di Indonesia ini, makanya anak bangsa ini tak mau mengaku presiden, karena presiden di Indonesia ini hanya satu orang dan tak mungkin bisa ngibul alias mangicuh di nan tarang. (Selamat Hari Pers Nasional 2016 (penulis waratwan tabloid bijak dan padangpos.com)

google+

linkedin