ADA yang bertanya, kenapa saya tak ikut menghadiri acara Hari Pers Nasional 2016 ini yang puncak kegiatannya di Lombok Nusa Tenggara Barat, 9 Februari 2016 mendatang. 

Secara spontan saya jawab, saya tidak punyo kepeng dan juga tidak pengurus PWI (Persatuan Wartawan Indonesia)  Sumatera Barat. Soalnya, seetiap wartawan yang pergi selain pengurus PWI harus mensetorkan dana Rp 3 juta include, tiket dan penginapan selama berada di Lombok. 

Sebagai wartawan biasa yang kampungan alias kolot, dari mana pula saya punya uang Rp 3 juta. Kemudian, keperluaannya hanya sekedar pai bahoyak hosein sae ke Lombok. Kan lebih enaklah kalau uang Rp 3 juta itu saya belikan beras dan biaya pendidikan anak saya yang paling bungsu yang sudah kuliah di perguruan tinggi.

Lantas timbul pertanyaan, kenapa wartawan itu bisa pergi ke Lombok menghadiri HPN? jawabannya sederhana saja, karena pengurus PWI menjalankan profosal dan "ngemis-ngemis" ke PT Semen Padang, Bank Nagari, BUMD yang ada di Sumbar, termasuk penguasaha kaya yang layak dimintakan sumbangan.  

Lantas kenapa saya tak dibawa pergi? Karena saya tak tahu pulalah dimata pengurus PWI Sumbar tersebut, karena saya tak pernah diajak dan ditawari. Ya begitulah nasib wartawan kolot dan kampungan, kurang banyak kawan yang peduli. 

sekedar berbagai pengalaman. Dulu saja, sewaktu media cetak harian yang pimpin masih terbit, tak sebersit pun ada keinginan saya untuk pergi ikut serta memeriahkan Hari Pers Nasional tersebut. Kenapa? Karena saya menilai, komentar dari presiden, para menteri hanya slogan kosong tanpa makna dan hanya menghibur hati para wartawan se-Indonesia pada hari itu. Sudah itu, apa yang dikomentarinya tentang nasib wartawan, sampai saat ini tak kunjung diperhatikan.

Kenapa saya berani mengatakan tak ada perhatian pemerintah. Karena sampai saat ini, tak pernah ada subsuidi pemerintah kepada media cetak. Untuk itu, wajar sajalah kalau muncul  media yang abal-abal dengan wartawan abal-abal yang menulis berita yang kalamak dek weee sae. Maksudnya, wartawan abal-abal menulis berita tanpa konfirmasi, cek dan ricek sebagaimana yang dimanahkan Undang-Undang Pokok Pers dan Kode Etik Jurnalistik.

Yang ironisnya lagi, pemerintah membuat surat edaran dan melarang membayar iklan di media cetak dan berbagai macam larangan. Meskipun begitu, masih ada juga kepala daerah yang mensisati dengan berbagai macam cara dan gaya, untuk menghindari kejengkelan pemimpin media dan wartawan dan membayar iklan pariwara yang besarnya bervariasi, sekedar membantu biaya cetak.

Akibat ketidak pedulian pemerintah, maka banyaklah media cetak abal-abal yang tak membayar gaji wartawan abal-abal. Bahasa konyolnya, berpandai-pandailah dilapangan. Masa iya dengan kartu wartawan tak pandai mencari uang makan dan transfortasi. Kalau bahasa Medannya;"Bodoh kali kau,".

Tanpa bermaksud membuka borok media cetak, tapi inilah faktanya yang sebenarnya. Setahu saya sampai hari ini, belum semua media cetak, termasuk harian  yang terbit di Sumbar yang menghargai wartawan secara profesional. 

Kalau tak percaya coba ditanya wartawan itu, berapa gajinya sebulan dihargai media tempatnya bekerja. Khusus media mingguan, saya rasa tak satu pun yang membayar gaji wartawannya perbulan. Jika pun ada jumlahnya pasti di bawah UMR atau mencukupi untuk biaya hidup sebulan.  

Kenapa saya berani mengatakan hal tersebut, karena saya juga pernah punya harian dan punya mesin cetak dan sekarang dijadikan besi tua, karena tak mampu membayar gaji waratwan. Waktu itu saya tinggal pilih, mau beli kertas, tinta, plat, karlkir dan gaji operator mesin atau bayar gaji wartawan.  Akhirnya saya memilih mealokasikan biaya untuk cetak dan terpaksa membana ke wartawan dengan cara pinjaman. 

Kondisi itulah yang membuat saya tidak berkeinginan keras untuk mencetak media harian dan sekarang saya lebih asyik bermain media di online Tabloid Bijak dan padangpos.com yang murah. Maksudnya, saya hanya memerlukan dana Rp 1.500.000 setahun dan biaya wi-fi Rp 145 ribu sebulan. 

Menurut saya, kekuatan berita itu bukan dengan nama besar medianya. tapi pada beritanya. Bertitik tolak dengan pendapat saya itu, maka saya bebas menulis sesuai dengan hati nurani saya, berdasarkan fakta dan data. Kalau ada yang salah atau kekeliruan, itu hal biasa karena saya juga manusia biasa yang dibesarkan di pesanren 6 tahun dan S1 IAIN Imam Bonjol dan tak pernah masuk partai politik. 

Kemudian, kenapa ada media abal-abal, karena masyarakat tidak memanfaatkan hak jawab dan koreksi terhadap media. Akibatnya, ya media akan otoriter dan menulis berita sekehendak hatinya.

Keleluasaan waratwan abal-abal dan media abala-abal, karena selalu dilayani oleh pejabat bermental korup dan pengusaja yang hbi ber-KKN-ria dengan pejabat untuk meraup keuntungan dirinya, tanpa peduli kebutuhan rakyat lemah dan miskin. 

Kini, mumpung kita berada di negara hukum, yang laprokan saja media yang tak sesuai dengan selera masyarakat dengan cara mempergunakan hak jawab dan melaporkan media tersebut ke Dewan Pers, yang sejak dipimpin mantan jaksa agung sudah snagat lumayan hebatnya. Selamat Hari Pers Nasional, semoga nasib wartawan tak lebih baik dikemudian hari. (penulis waratwan tabloid bijak dan padangpos.com)

google+

linkedin