Inilah nenek Suna (80), yang mengaku warga Batu Bajanjang, kecamatan Lembang Jaya Kabupaten Solok, yang menjalani profesi mengemis di hari tuanya.

BIJAK ONLINE (SOLOK)-Bagi kalangan pegawai atau PNS di Kabupaten Solok, wajah nenek tua yang berprofesi sebagai pengemis mungkin tidak akan asing lagi. Hampir setiap hari nenek yang mengaku bernama Suna (80), dan mengaku berasal dari Nagari Batu Bajanjang, Kecamatan Lembang Jaya Kabupaten Solok.

Menurut pengakuan nenek Suna, dirinya sudah jadi pengemis selama empat tahun.  “Saya hanya libur pada hari Minggu saja dan dulu nenek juga pernah mengemis di kota Solok. Habis bagaimana lagi, siapa yang akan membiayai nenek,” ucapnya sendu. 

Ketika ditanya, apakah tidak ada anak atau saudara, nenek itu tampak seperti menyimpan sesuatu yang sulit untuk diungkapkan. “Saya hanya ada cucu, makanya saya hidup meminta-minta dari belas kasihan orang lain,” tuturnya. 

Ketika ditanya, apakah ada orang yang mengantar jemput setiap hari ke kantor Bupati, nenek Suna juga menjawab tidak ada dan hanya menumpang naik angkot dari nagari Cupak pulang pergi. Sementara berapa uang yang didapat satu hari dari hasil mengemis, nenek Suna juga menyebutkan bahwa hasilnya tidak menentu. “Dulu bisa Rp 300 ribu, namun sekarang tidak menentu, bisa antara Rp 50 sampai 100 ribu saja,” sebut nenek Suna, ketika berbicang dengan di ruang Bagian Umum Kantor Bupati Solok.

Secara fisik, nenek Suna memang tidak usah diragukan. Meski mengaku sudah berusia 80 tahun, tetapi nenek ini tampak sehat, meski wajah dan kulit keriput sudah memenuhi seluruh kulitnya. Namun pertanyaannya, sampai kapan nenek ini harus menjalani hidup dengan mengemis, karena sudah seharusnya diusia senja beliau istirahat menikmati hidup. “Ya, kita juga kasihan melihat beliau, tetapi kita takutnya ada yang memanfaatkan nenek ini, karena hampir setiap hari berkeliling masuk ke luar kantor meminta-minta,” tutur Nora, salah seorang staf Humas Pemkab Solok. 

Klausul dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara” mungkin bisa menjadi memiliki arti yang berbeda-beda. Hal ini sangat bergantung pada dari sudut mana seseorang memaknainya. Jumlah fakir miskin dan anak terlantar yang terus bertambah bisa menunjukkan negara telah bersalah karena tidak memberikan penghidupan yang layak kepada mereka. Namun, terus bertambahnya mereka juga dapat dibenarkan berdasarkan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 tersebut karena negara memang “memelihara” (membiarkan tumbuh) mereka. Lalu siapa yang bertanggungjawab atas kehidupan yang layak nenek Suna, keluarga, Dinas Sosial atau negarakah?

Dari uraian di atas, pembaca tentu sudah bisa menyimpulkan dan memberikan jawaban terhadap judul yang diangkat. Dalam kondisi apapun, negara tetap dapat dikatakan “memelihara” fakir miskin dan anak terlantar. Negara membiarkan mereka terus berkembang dan bertambah jumlahnya tanpa melakukan program pengentasan dari penderitaan hidup mereka, dapat dikatakan telah “memelihara”. 

Sebaliknya, negara melakukan program pengentasan dan pemberdayaan sehingga mereka terlepas dari kondisi fakir, miskin, dan keterlantarannya juga memenuhi arti kata “memelihara”, termasuk halnya dengan nenek Suna. Entah sampai kapan nenek ini akan menjalani profesi mengemis dan kepada siapa kita akan bertanya? (wandy)

google+

linkedin