SIKAP dan kebijakan Walikota Payakumbuh, Reza Falepi dalam masalah atlet yang akan mengikuti Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) XIII, yang dibuka Menpora RI, 16 Desember 2014 di Dhamasraya patut dipuji dan dikaji, karena KONI Payakumbuh tidak akan membajak atlet dan akan mengirimkan atlet hasil binaan sendiri. Kenapa dipuji? Karena Walikota Payakumbuh tak mau membajak atlet dari daerah lain atau memanen hasil tanaman orang lain.

Sedangkan yang untuk  dikaji, apakah Walikota Payakumbuh Reza Falepi sudah serius melakukan pembinaan olahraga dengan serius di daerah kekuasaannya?. Kalau sang walikota hanya sekedar bercuap-cuap, ya kita anggap sajalah komentarnya itu bagaikan angin lalu.

Persoalan tekad KONI Payakumbuh akan memanen hasil tanaman sendiri berdasarkan informasi yang disajikan Portal RANAHBERITA, Senin 13 Oktober 2014 lalu,  yang menururnkan berita KONI Payakumbuh  dipastikan tidak akan menggunakan atlet yang bukan asli dari Payakumbuh. Bahkan, Sang Walikota Payakumbuh Riza Falepi dengan lantang menegaskan;”prestasi yang dihasilkan oleh atlet impor bukanlah prestasi yang membanggakan, tetapi memalukan.”

Waktu itu, sang walikota Payakumbuh menyebutkan, kalau dirinya  tidak akan membeli kemenangan dan juga tidak pula menangisi kekalahan.
Semua insan olahraga tahu kalau prestasi yang diraih melalui perjuangan yang tidak jujur dan licik akan merusak citra dan nilai-nilai luhur  olahraga. Fakta ketidak jujuran dalam pencapaian  prestasi itu tidak boleh  dibiarkan dan ditoleransi, soalnya  akan memberikan pendidikan kepada anak bangsa yang tidak baik. Kemudian olahraga akan kehilangan rohnya sebagai alat pendidikan dan pembentukan karakter bangsa yang terbaik.

Begiu juga dengan pelaksanaan Porprov di Dhamasraya, apakah  apakah pelaksanaan Porprov XII Sumbar ini anya berorientasikan pada prestasi atau kemenangan dengan mengumpulkan medali sebanyak-banyaknya dengan menghalalkan segala cara? Apakah ambisi primordial yang mana daerah peserta dalam Porprov  berlomba- lomba untuk merebut prestasi dengan segala cara yang tidak terpuji. Apakah kita menoleransi cara-cara yang tidak fair, hanya ingin memperoleh medali dan mencari peringkat juara umum demi kebanggaan daerah?

Sebagaimana kita ketahui selama ini setiap ada kejuaraan, masih  sering terjadi cara-cara yang kurang terpuji, seperti pembajakan pemain dengan membeli pemain dari daerah lain tanpa memerhatikan etika dan peraturan yang berlaku.  Jujur, prilaku jual beli atlet sudah sering terjadi dan menjadi tren ketika menjelang event akbar, seperti Porprov, demi gengsi dan prestise daerah yang kental dengan nuansa politis.

Bila kita berbicara aturan dan undang-undang,  memang masalah  jual beli atau perpindahan atlet tidak dilarang sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (Pasal 59). Tapi, pembajakan atlet tersebut masih dengan tujuan pembinaan dan pengembangan olahragawan dan dilakukan dengan etika serta peraturan yang berlaku, termasuk peraturan yang disepakati dalam cabang olahraga tertentu.

Tanpa bermaksud menggurui pengurus KONI Sumbar,  yang jelas kalau pelaksanaan Porprov yang berorentasi  prestasi semata harus dikoreksi dan diluruskan dengan paradigma baru yang meletakkan semangat olahraga sejati, yaitu fair play sama pentingnya dengan prestasi itu sendiri.

Semoga,  semboyan tercepat (citius), tertinggi (altius), dan terkuat (fortius) yang digelorakan Gerakan Olimpiade modern yang ditegaskan Pierre de Coubertin hendaknya tidak diartikan secara harfiah dalam arti fisik,  tetapi bermakna filosofis yang menekankan nilai-nilai agar seseorang melalui olahraga akan terbina karakter dan moralnya sehingga lebih mulia, luhur, dan terpuji. (penulis wartawan tabloid Bijak)

google+

linkedin