SUDAH sekitar enam belas tahun kita hidup dalam zaman reformasi, yang berarti kita hidup dalam era yang bisa dikatakan adanya kebebasan, tanpa dikekang-kekang oleh segala peraturan yang mematikan segala kreatifitas kita. Dalam era ini kita mengantungkan setinggi tingginya harapan kita untuk merubah hidup, baik sebagai pribadi maupun kenegaraan untuk bisa hidup sejahtera, mencapai tingkat hidup yang lebih tinggi dan mencapai kemakmuran.

Adanya suatu kebebasan itu juga bisa dikatakan hidup dalam zaman yang demokratis karena adanya pengakuan dan dijunjung tingginya hak-hak kita sebagai warga negara. Adanya pengakuan akan hak-hak kita itu bisa menjadikan kita untuk melakukan apa saja demi kebaikan hidup kita.

Tetapi dengan berjalannya waktu dan berkembangnya situasi seperti yang kita lihat sekarang ini, timbul suatu pertanyaan dalam benak kita, mengapa situasi hidup kita dan perkembangan situasi negara kita, baik itu sosial, ekonomi apalagi politik tidak mencerminkan ke arah yang positif dan tidak memperlihatkan peningkatan pembangunan dalam arti kata tidak adanya kemajuan ekonomi yang diraih untuk menyelamatkan saudara-saudara kita yang hidupnya serba kekurangan tanpa adanya pekerjaan untuk menunjang dan memenuhi kehidupan mereka kalau seandainya kebebasan tadi membawa ke arah yang lebih baik?

Segelintir pertanyaan itu memperlihatkan adanya sikap yang pesimis dari sebagian kita tentang adanya gejala yang mempertanyakan perkembangan negara sekarang ini dan juga munculnya sindrom romantisme akan situasi dan keadaan negara untuk ingin lagi berbalik kepada zaman Orde Baru. Perbandingan situasi antara era sekarang dengan Orde Baru yang dikatakan oleh sebagian pendapat itu dinyatakan dengan lebih baik, aman, tenteram dan terjaminnya makan pagi dan makan malam mereka.

Tingkat kepastian dalam kehidupan itulah yang memyebabkan mengapa orang ingin lagi mempertanyakan dan menggugat situasi sekarang ini dengan mengatakan mana yang lebih baik adanya kebebasan sosial yang direpresentasikan dengan keadaan sekarang atau adanya kemajuan ekonomi dengan adanya kepastian dalam memenuhi hidup dan mencapai kesejahteraan seperti yang diperlihatkan zaman orde baru dulu.

Dalam ulasan pendek ini akan dibahas dan diperlihatkan, apakah kita memilih kebebasan dengan berbagai konsekuensinya pula. Semua pilihan yang akan kita jatuhkan akan tetap diletakkan dalam koridor demi kebaikan kita bersama dan negara ini.



Kebebasan yang “kebablasan”

Kebebasan merupakan suatu situasi dan kondisi yang diharapkan, diinginkan oleh setiap orang di dunia ini. Dengan adanya kebebasan menjadikan setiap individu dapat mengembangkan segala kreatifitas mereka dalam menjalani hidupnya, baik itu hanya sekedar mengembangkan alam pikiran dan intelektualitas mereka untuk melanglang buana tanpa didasari adanya rasa takut akan melanggar norma-norma dan peraturan-peraturan maupun kreatifitas untuk meningkatkan kehidupan mereka dengan meraih sebanyak banyaknya materi yang merupakan salah satu syarat dalam hidup hedonisme dan konsumerisme sekarang ini.

Terjaminnya kebebasan itu juga merupakan salah satu syarat yang memperlihatkan bahwa negara tersebut dikatakan negara yang demokratis, negara yang melindungi hak asasi setiap orang (HAM), dan negara yang menempatkan keingginan setiap individu diatas segala-galanya.

Dengan mencermati situasi negara kita sekarang ini, timbul suatu pertanyaan dan keraguan, mengapa kebebasan yang dirasakan sekarang ini membawa negara kita kedalam “kubangan kesengsaraan” yang sangat mendalam?. Mungkin jawaban itu dapat langsung dijawab oleh setiap orang, yaitu karena kebebasan itu dilakukan secara frontal, radikal dan tanpa norma lagi alias kebablasan.

Setiap orang sekarang ini mengartikan kebebasan itu secara picik, sempit, semau gue, seenak dhewe, chauvinisme, mementingkan diri sendiri dan golongan tanpa mengindahkan lagi norma-norma, baik norma agama apalagi norma yang berkembang dalam kehidupan mereka dan juga tidak mentaati peraturan yang telah dibuat.

Setiap orang sekarang ini menjadi srigala bagi yang lainnya (homo homini lupus). Yang kuat memakan yang lemah, yang pintar menipu yang bodoh, yang kaya menekan yang miskin dan yang berkuasa mengebiri yang tidak punya kekuasaan. Keadaan itu dilakukan tanpa adanya rasa malu dan rasa kemanusiaan dan tidak adanya lagi “homo homini socius” yang berkembang di dalam masyarakat.

Situasi yang demikianlah yang dirasakan oleh bangsa kita sekarang ini. Gejala-gejala yang demikian dapat kita lihat, antara lain adalah timbulnya gejala-gejala separatisme dan disintegrasi bangsa, merajalelanya tindakan korupsi, terjadinya perkelahian antar pendukung Partai Politik karena merasa berhak atas suatu daerah, terjadinya pelanggaran HAM yang diperlihatkan dengan menjatuhkan hukuman secara langsung tanpa didahului oleh proses pengadilan (membakar pencuri misalnya), menjunjung tinggi HAM tersebut tetapi melupakan HAM yang dimiliki oleh orang lain pula (mementingkan diri sendiri, dan lain sebagainya).

Semua contoh terjadinya kebebasan yang tanpa terkendali tadi berujung kepada terjadiya dekadensi moral. Inilah yang kita takutkan seandainya memang terjadinya kemerosotan moral dari setiap individu di negara ini, maka bisa dipastikan kehancuran bangsa ini akan tinggal menunggu waktu saja. Seperti yang telah sering diperingatkan oleh orang bijak “bahwa kebebasan sejauh masih dalam koridor tidak akan membawa suatu bangsa ke arah yang lebih buruk, tetapi dekadensi morallah yang menyebabkan bangsa ini hancur”.

Kebebasan juga identik dengan demokrasi. Demokrasi merupakan suatu sistem negara yang paling banyak dianut oleh negara sekarang ini karena demokrasi diyakini akan menghasilkan suatu negara yang sejahtera, menghormati HAM, dan semua kebaikan lainnya. Tetapi mengapa di negara kita praktek demokrasi yang diperlihatkan belum ada hasilnya, bahkan seakan akan demokrasi yang tercipta sekarang ini lebih bisa dikatakan demokrasi totaliter, yaitu keadaan dimana negara itu demokratis tetapi prilaku aparat dan rakyatnya cenderung memperlihatkan prilaku yang totaliter.

Melihat semua itu timbul lagi pertanyaan bagi kita, apakah demokrasi cocok untuk diterapkan di negara ini. Fenomena inilah yang terlihat sekarang yaitu banyaknya kita baca opini di berbagai media cetak yang ditulis oleh para pakar-pakar yang ahli di bidang politik, kenegaraan atau ahli yang concern terhadap masalah ini atau yang kita saksikan di televisi perdebatan terhadap masalah ini.

Ditambah lagi dengan banyaknya studi-studi yang memperlihatkan sikap yang pesimis terhadap masalah demokrasi. Seperti yang diajukan oleh Robert Kaplan dalam bukunya The Coming Anarchy (2000), Mancur Olson dalam bukunya Power and Prosperity (2000), Ami Chua dalam bukunya World on Fire (2003), dan banyak ahli yang lainnya.

Mungkin disini dapat kita terangkan pendapat dari Robert Kaplan tentang gagalnya demokrasi. Dalam studinya Kaplan mengamati perkembangan demokrasi di dunia ketiga atau negara berkembang, yaitu sample yang diambilnya adalah Afrika. Di sana demokrasi telah gagal menyelamatkan benua tersebut karena munculnya pertarungan antar suku dan agama, bukan lagi perpolitikan yang rasional yang muncul.

Partai Politik tidak lagi memainkan perannya sebagai interest aggregation tetapi partai politik tersebut berbasis agama dan kesukuan, dan pertarungan antar partai politik akhirnya berubah menjadi pertarungan antar agama karena setiap partai politik itu di back up oleh agama masing-masing yang juga konstituennya beragama yang sama.

Inilah yang dikatakan oleh Kaplan, bahwa demokrasi tidak akan jalan di negara yang berkembang yang mempunyai partai politik yang berbasis agama atau kesukuan atau kelompok lainnya karena mereka tidak akan senang apabila kalah oleh kelompok yang lainnya. Untuk memenanginya dibuatlah cara-cara yang tidak rasional lagi sehingga menyebabkan demokrasi itu sendiri menjadi mati.

Dari pendapat Kaplan tadi bisa juga kita menganalogikannya, bahwa kebebasan yang terjadi itu tidak dijalankan dan diperankan secara semestinya sehingga membuat partai-partai politik itu kehilangan kontrol dan arah. Yang ada hanya kemenangan yang harus digapai dengan menghalalkan segala cara. Inilah yang menyebabkan terjadinya berbagai pelecehan-pelecehan dan penyimpangan-penyimpangan dalam prakteknya. (Penulis PNS Pemko Padang)



google+

linkedin