BIJAK ONLINE (OPINI)-Sekarang ini kita banyak disuguhkan manuver politik yang dilakukan oleh elite-elite politik yang semakin menambah semarak dinamika politik nasional, seperti perseteruan antara Polri dan KPK. 

Manuver politik ini layak dicermati karena mengingat dampaknya yang luas tidak hanya pada perkembangan ekonomi tetapi juga instabilitas politik. Konflik politik wajar dalam negara demokrasi, konflik elite bisa terjadi dalam berbagai tingkat, baik secara vertikal, antara elite pemerintahan dan elite di masyarakat maupun secara horizontal yakni antara elite politik itu sendiri. Yang paling parah jika konflik itu terjadi secara serentak,vertikal dan horizontal.

Kenyataan menunjukkan konflik elite yang terjadi tidak dapat diselesaikan dengan cepat atau berlarut larut, sehingga membuat kondisi politik tidak stabil, rentan terhadap aneka kerusuhan, menumbuhkan aksi protes dan manuver kekerasan. Karena itu konflik elite yang berkepanjangan berpotensi membawa negara berada dalam krisis berkepanjangan. Namun demikian, konflik elite juga dapat membawa perubahan yang lebih produktif.

Menurut John Highley dan Michael G Button, konflik elite bisa dicermati dari beberapa sisi, terutama dalam hubungannya dengan transisi menuju demokrasi. Pertama, elite yang bersatu secara ideologi. Ini terjadi dalam negara dengan rezim otoriter yang mayoritas elite yang kuat secara politik umumnya menjadi anggota Partai Politik yang sama, mendukung kebijakan publik yang sama, dan menunjukkan loyalitas kepada pimpinan yang sama.

Dalam situasi ini, politik sangat stabil namun partisipasi politik yang luas tidak terjadi. Bersatunya elite politik dalam negara otoriter dianggap bukan proses murni dan sukarela, namun dibentuk di bawah sistem yang represif. Secara rasional, para elite itu memilih untuk bersatu karena hanya melalui penyatuan diri dengan irama negara otoriter itu kepentingan politik mereka terlindungi.

Bersatunya elite secara idiologis ini tak akan bertahan lama. Penyatuan itu dianggap menentang hakikat masyarakat modern yang beragam. Pada saatnya, elite yang bersatu itu pecah dan berkonflik satu sama lain. Dalam tahap perpecahan, para elite secara publik mulai menunjukkan perbedaan. Mereka bukan hanya berbeda dalam orientasi politik, namun juga menjadi anggota partai yang berbeda dan mendukung pimpinan yang berbeda pula.

Kedua, elite yang berkonflik. Konflik elite ini dianggap situasi yang tak terhindari untuk keluar dari negara otoriter. Hanya melalui konflik elite yang serius, negara otoriter menjadi rapuh lalu jatuh. Konflik elite disatu sisi berjasa dalam pelumpuhan negara otoriter, namun disisi lain ia juga berbahaya jika konflik elite itu berlarut. Negara selalu dalam keadaan krisis yang membuat politik tidak stabil, jauh lebih berbahaya lagi konflik elite yang berkepanjangan dapat membuat negara selalu dalam ancaman kerusuhan, anarki dan kekerasan yang berdarah.

Ketiga, elite yang berkompetisi dalam prosedur demokrasi. Untuk sampai ke demokrasi, para elite itu harus menapak ke satu tahap yang lebih maju lagi yaitu mengubah struktur elite dari situasi konflik tanpa adanya aturan main bersama yang disepakati menuju kompetisi elite dalam prosedur demokrasi.

Semua negara yang berhasil bertransisi ke demokrasi dianggap berhasil mentransformasi struktur elite itu. Elite atas keingginan sendiri mengambil inisiatif untuk menerapkan prosedur demokrasi sebagai cara menyelesaikan perbedaan di antara mereka. Teori elite ini adalah literatur mutakhir dalam teori transisi menuju demokrasi. Teori sebelumnya terlalu banyak menekankan faktor struktural, seperti faktor ekonomi ataupun kultur, namun melupakan faktor aktor politik yang mampu membuat hasil politik berbeda.

Sebelumnya, demokrasi dianggap hanya realistik bagi negara yang telah melampaui tingkat ekonomi tertentu. Hanya negara yang secara ekonomi cukup kaya yang mampu memiliki demokrasi yang stabil. Alasannya sederhana, demokrasi memerlukan pendukung utama. Kelas menengah dianggap pendukung utama demokrasi. Ungkapan Barrington Moore, tentang hal ini amat terkenal, “tanpa kelas menengah, tak ada demokrasi”. Hanya negara yang relatif kaya yang memiliki mayoritas kelas menengah yang terdidik dan berpenghasilan cukup.

Untuk bertransisi menuju demokrasi, para elite itu harus melampaui tiga tahap itu secara berhasil. Yaitu dari elite yang bersatu secara idiologis dibawah sistem otoriter, lalu berubah menjadi elite yang berkonflik dan menjatuhkan negara otoriter, kemudian bertransformasi lagi menuju elite yang berkompetisi dalam prosedur demokratis.

Kondisi elite di negara kita baru sampai pada tahap kedua. Elite di negara kita pernah bersatu secara idiologis dibawah pimpinan Presiden Soeharto dalam sistem negara otoriter. Tahap ini sudah dilalui. Kalau datang krisis ekonomi yang dahsyat dan kegagalan pimpinan nasional dan sistem negara otoriter. Satu tahap lagi yang dibutuhkan elite politik yaitu mentransformasi konflik diantara mereka menjadi kompetisi politik yang sehat dibawah prosedur demokrasi. Jika transformasi ini gagal dilakukan, negara kita akan makin jauh dalam konflik yang berkepanjangan. Bukan tak mungkin pula negara kita akan sama dengan negara Uni Soviet dan Yugoslavia.

Transformasi konflik elite politik bukan hal mudah. Diperlukan kualitas elite tertentu untuk melakukan transformasi ini yang melampaui kepentingan jangka pendeknya. Elite yang mampu memimpin transformasi ini bukan hanya elite yang kuat secara politik, namun juga harus mempunyai kualitas negarawan yang visioner dan tak terikat pada kepentingan sesaat.

Kita semua berharap, pimpinan yang duduk sekarang ini, mulai dari pimpinan di pusat maupun di daerah-daerah mempunyai sikap yang sama dan satu tujuan untuk membawa NKRI tetap berdiri tegak dan sejajar dengan negara-negara maju lainnya di dunia ini. (Penulis adalah PNS Pemko Padang).

google+

linkedin