Alisar dan Isteri

BIJAK ONLINE (SOLOK)-Satiap orang pasti menginginkan masa tua yang bahagia, namun tak semua orang bernasib mujur, contohnya adalah Alisar (65), bisa jadi adalah salah satu dari sekian banyak rakyat jelata yang bernasib bagaikan sampah. Buktinya, habis manis Alizar dibuang.

Yang ironisnya, Alizar salah seeorang petugas sampah yang mengabdi di Kota Solok. Bahkan, berkat kerja keras Alisar dan petugas lainya lah, Kota Solok mampu mendapat penghargaan Adipura. Namun sayang setelah mengabdi sekian tahun, Alisarpun berakhir sama dengan sampah-sampah yang mereka  urus selama 35 tahun tersebut.


Alisar pun dipecat tanpa pemberitahuan, serta tanpa surat pemecatan, Alisar mengaku ia dipecat hanya secara lisan saja,”Mulai besok kamu gak usah, kerja disini lagi,” kata Alisar meniru suara atasanya , yang memecatnya dari Dinas kebersihan setempat. Tak percaya dengan cobaan yang dihadapinya. 

Alisar dan Istri tercinta mencoba mencari keadilan, namun sayang, perjuangan mereka sia-sia. Mereka berduapun, harus pasrah kepada yang Maha Kuasa, dalam menerima cobaan tersebut, baginya Para Pejabat Pemerintah adalah lintah darat yang sangat kejam, dan tidak berperikemanusian.

Alisar yang merupakan warga Nagari Gauang, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok. Alisar yang keseharianya bekerja sebagai tukang sampah, menyapu, membersihkan sampah, membersihkan selokan, memungut sampah, mengangkut sampah dan sebagainya di wilayah Kota Solok, sebagai tukang sampah pada Dinas Kebersihan dan Tata Ruang Kota Solok, Alisar yang merupakan salah satu dari sekian Orang Sampah,

”Para Pejuang Adipura”, ini tentulah memiliki bau badan yang tak sedap jika dihirup, bau amis, busuk, anyir, serta objek-objek menjijikan, sudah menjadi ciri khasnya, karena hampir tiap hari Alisar bergulat dengan sampah, mau tak mau, suka tak suka, haruslah ditelan mentah-mentah. Ia berjuang berpeluh-peluh, dengan keringat darah yang bercucuran, tanpa disadari, ketika usai bekerja, tangan, kaki, sepatunya nya telah dipenuhi oleh darah karena terinjak potongan paku, besi atau kaca, hingga melepuh, namun Alisar, tetap berpikir bahwa ini adalah, salah satu bentuk perjuanganya, mengabdi untuk negara, untuk Kota Solok tercinta.


Alisar yang bekerja menjadi petugas sampah sejak masih muda ini, tak menghiraukan tubuhnya yang sakit dan terluka demi Kota Solok yang bersih serta nyaman untuk ditempati. Setiap harinya sang pejabat berwenang dari Kantor Dinas Kebersihan dan Tata Ruang, memerintahkan Alisar untuk segera berangkat membawa alat-alat tempurnya, seperti sanki, perkakas kerjanya seperti sapu lidi, cangkul, garpu, pengais dan sebagainya, yang diikatkan di bagian belakang sepedanya. Alisar pun berangkat kerja, sang keluarga tercinta dirumah pun selalu berharap tinggi agar Alisar tetap sehat, dengan harap-harap cemas serta rasa was was, sang Istri tercinta berharap yang Maha Kuasa senantiasa melindungi suaminya. 

“Awak lah lamo jadi tukang sarok di Kota Solok, kurang labiah lah tigo puluh limo tahun, wak mangabdi, sajak duo tahun nan lalu wak dibarantian sacaro lisan, dek pajabat di dinas tu,” kata Alisar menceritahakn dirinya yang sudah tiga puluh lima tahun mengabdi, dan sudah dua tahun Ia dipecat secara lisan, ketika ditemui oleh Koran Padang di kediamanya di Jorong Galanggang, Nagari Gauang, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok.

Alisar menjelaskan, Pejabat yang Ia maksud, hanyalah petugas utusan dari Dinas Kebersihan Tata Ruang (DKTR) Kota Solok, yang sehari-hari ditugasi untuk menjadi Koordinator yang mengawasi para pekerja lapangan kebersihan, yang juga bekerja dalam urusan adminstrasi dan keuangan. Petugas tersebut merupakan orang yang paling ditakuti oleh hampir seluruh tukang sampah, sebab jika terjadi sesuatu masalah, pejabat itu mampu membuat keputusanya sendiri, seperti memecat hingga pengangkatan calon buruh baru lapangan, “oleh sebab itu pekerja kasar mestilah berpandai-pandai dengannya,” kata Alisar. 

Disinilah telat petaka  menimpa Alisar, diluar perkiraan justru akhirnya tiba giliran untuk berurusan dengan Pengawas lapangan, tanpa ada alasan yang logis malah mendadak dipecat oleh si-Bos. Itupun pemecatan dilangsungnkan hanya dengan cara lisan, seraya menyebutkan calon pengganti Alisar telah dipersiapkan. “Waktu itu saya sedang menyapu Jalan Lingkar Pasar Raya bagian belakang arah Kotopanjang, tiba-tiba si-Abang datang, kemudian mengatakan jika saya dipecat. Alasan pemecatan sempat disebutkan karena sudah tua, tenaga tak kuat lagi,” cerita Alisar dengan raut muka sedih.

Mendengar keputusan demikian, mulai esok harinya pria yang belum kunjung dikarunia seorangpun anak bersama isteri tercinta, Kartini, tidak berani lagi untuk datang ke tempat kerja.  Sebagai alternatif membiayai kebutuhan hidup keluarga, ia pun banting setir jadi pemulung (pengumpul barang bekas), dan sesekali ikut membantu saudara membersihkan sampah di berbagai lokasi. 

Kebetulan dua orang saudara Alisar juga tercatat bekerja sebagai petugas sampah di Dinas DKTR Kota Solok. “Sewaktu masih jadi tukang sampah, saya digaji Pemda Rp430 ribu setiap limabelas hari sekali, dipotong biaya asuransi Rp10 ribu. Dikala membantu saudara, hanya dapat Rp200 ribu sebulan, maka terpaksa cari cekeran lain mengumpulkan barang bekas,” imbuhnya. 

Namun yang sangat membuat Alisar merasa terpukul, bukanlah karena masalah pemecatan, atau besar kecilnya penghasilan yang dapat dikumpul pasca dipecat. Namun kenapa petugas sampah begitu dianggap rendah, kapan saja bisa dibuang tanpa ada kejelasan, pertanggungjawaban. Walau hanya berpendidikan tidak tamat SD, namun soal hati dan perasaan setiap manusia tetaplah sama. 
Kalaupun dipecat, mestinya ada diberi selembar surat, begitupun kejelasan soal uang santunan/duka. Sebab selama 35 tahun bekerja, selalu ada pemotongan tiap bulannya. Seekor ayam pun begitu dilepas tuan-nya dari kandang, paling tidak diberi nasi basi. “Tak obahnya dibuat seperti sampah, kapan saja dapat dibuang begitu saja. Kalau akhirnya begini, kenapa dulu ikut diberi Kartu Askes, Kartu Asuransi Jiwa-Kecelakaan-Pensiun,  serta tunjangan THR,” tubuh ringkih Alisar tampak gemetar, muka pucat.

Ditambahkan istri Alisar, kartini, pasca sang suami dipecat (dua tahun silam) pihaknya telah berulangkali mencoba mendatangi Kantor DKTR Kota Solok di Kelurahan laing, Kecamatan tanjung Harapan, guna mencari kepastian. Namun setiap kali pejabat disana ditemui, jawaban selalu ngambang. Bahkan, ada pula diantaranya yang merespon dengan nada tinggi, mengancam.

 “Kata mereka pemecatan petugas sampah tidak pakai surat-menyurat, dengan lisan saja cukup. Selanjutnya orang yang dipecat secara otomatis dapat digantikan pihak lain,” ujar Kartini menirukan ucapan salah-seorang petugas DKTR yang pernah ditemuinya. Belum puas berjuang di Kantor DKTR, Kartini pun nekat mendatangi kantor wali Kota Solok, dan sekitar tiga bulan lalu mendatangi Kantor Sosnaker Kota Solok. Alih-alih mendapat titik terang, justru kekecewaan juga yang bisa dibawa pulang. 

“Saking kelelahan berjalan kian -kemari, naik ojek-turun ojek, suatu kali di sebuah ruangan Kantor Wali Kota Solok saya mendadak jatuh pingsan. Namun beruntung ada seorang pegawai berbaik hati menolong, hingga berselang 15 menit kemudian kembali siuman,”Jelas Kartini sambil menunjukan kartu asuransi suaminya berlogo Bringin Life. Karena merasa telah cukup lelah mencari informasi dan kepastian kian kemari, keluarga kurang mampu “Pejuang Adipura” Kota Solok tersebut pun akhirnya memutuskan untuk menyudahi petualangan menuntut hak, serta belajar untuk mengambil hikmah dibalik semuanya.

Kepala DKTR Kota Solok, Altani saat dikonfirmasi via telfon genggammnya, terkait kasus tersebut, hanya menjawab singkat. Katanya, petugas sampah memang posisinya begitu, setelah dipecat tidak bisa dapat apa-apa, termasuk uang pesangon. “Kebetulan mereka berstatus tenaga harian Lepas, bukan kontrak. Masing-masingnya hanya akan diberi upah selagi bekerja, mirip buruh harian layaknya kuli bangunan, maupun kuli tani, kuli kebun,” pungkas Altani. (Van/wan)


google+

linkedin