Anak muda di Angge terlihat  berlatih silat sebelum tampil pada  festival kebudayaan Minangkabau 2016  di Angge . Di daerah yang penah dilanda galodo  pada tahun 1976 lalu. 

MENJELANG Magrib, 11 November 1976 hujan lebat mengguyur daerah Angge. Tak berlangsung lama, air sungai meluap memasuki pemukiman masyarakat. Bangunan rumah yang berada di sekitar aliran sungai itu disapu air bah yang berasal dari hulu sungai Sarasah. Rumah hanyut, sawah porak poranda, dan ada juga masyarakat yang hanyut diterjang galodo itu. Begitulah penuturan, Jafri(60) warga Angge yang menyaksikan bagaimana galodo hebat yang terjadi 40 tahun lalu itu.


Bencana hebat di tahun 1976 menjadi Galodo pertama di Sumbar yang memakan korban jiwa, menghangutkan pemukiman, dan persawahan masyarakat. Butuh waktu 4 tahun lamanya, hingga masyarakat Angge yang saat ini tergabung dalam Jorong Angge Palimbatan, di nagari Pasie Laweh, kecamatan Palupuh, bisa kembali bangkit menggarap sawahnya yang porak poranda akibat diterjang galodo tersebut.

Memang malam itu, memang bukan malam peringatan 40 tahun tepatnya kejadian Galodo Angge. Namun Sabtu(16/4) malam itu, tengah dilakukan persiapan untuk Festival Kebudayaan Minangkabau 2016 di Angge. Dimana belasan perguruan silat di Palupuh, Agam, bahkan kabupaten lainnya ambil bagian dalam alek nagari ini.

Penasaran dengan daerah itu, penulis berangkat ke daerah yang berada 25 KM dari Kota Bukittinggi. Usai magrib, hujan lebat masih terjadi, namun perjalanan tetap dilanjutkan, karena ingin melihat bagaimana Angge di malam hari. Dengan sepeda motor Yamaha jalan lintas Bukitinggi-Pasaman tersebut ditempuh. Sesekali melintas truk dari arah berlawanan, ditengah kesunyian malam daerah yang  belum terlihat banyak penduduknya itu.

Sepanjang jalan, memang telah ada lampu jalan, tapi tak semuanya. Heningnya malam, melintasi jalan diantara perbukitan untuk menempuh satu persatu jorong, hingga sampai di Pasar Palupuh yang ramai dikunjungi masyarakat sekitar di hari Selasa itu. Namun masih tersisa perjalan lima kilometer lagi untuk sampai di daerah Angge yang melewati pertigaan Palimbatan. Marawa terpajang di sepanjang jalan menjadi petunjuk jika lokasi acara tak jauh lagi.

Akhirnya sampai di lokasi , telah menunggu ketua panitia festival, tokoh masyarakat setenpat dilokasi, di sebuah warung berdinding papan beratap seng. Masyarakat terlihat ramai berdatangan, sebab pada malam persiapan festival itu, panitia juga memberikan kegiatan hiburan bagi masyarakat. Tua muda terlihat hadir hingga larut malam menyaksikan kegiatan yang diwarnai hujan rintik tersebut.

Setelah berkenalan dengan  satu persatu penghuni warung itu, namun rasa penasaran masih mengganjal. Sebab di sebuah spanduk di lokasi yang sebelumnya merupakan silat di Angge itu tertulis Festival Kebudayaan Minangkabau 2016 di Angge merupakan momentum untuk mengingatkan kembali peristiwa galodo Angge 11 November 1976, yang pernah dikunjungi Gubernur Sumbar Harun Zein (alm).

Penulis, berkesempatan bertemu langsung dengan saksi mata galodo Angge. Ia , Jafri  pria 60 tahun, yang waktu kejadian itu berumur 20 tahun. Ia melihat langsung bagaimana kuatnya terjangan galodo yang membuat rumah mengalami rusak parah, dan ada yang hanyut tanpa bekas itu. 

Menurutnya, menjelang magrib itu, hujan terjadi, tak beberapa lama setelah itu galodo itupun datang. Meskipun sebelumnya, sempat membuat tanggul dengan batu agar luapan banjir tak masuk ke rumah mereka, namun hal itu sia-sia karena kuatnya arus air dari Bukik Sirabuang itu begitu deras.

“Manjalang magrib, aia rimbo masuk kadalam rumah. Aia lah  mulai naik, batu nan diususun untuk mahambek aia jan naik lah dihondoh, aia sangaik dareh. Aia gadang lah tibo, Batang Macang nan di ujuang jalan nampak makin hilang. Kami ciek rumah wakatu itu  takuruang. Untuk panarangan tarompa japang nan dibaka,” ungkap Jafri.

Air makin lama makin membesar, semuanya berusaha menyelamatkan anggota keluarganya masing-masing. Kejadiannya tak berlangsung lama, hanya sekitar satu atau dua jam, tapi banyak rumah  yang hanyut, bahkan ada yang tinggal sandinya(batu ditiang rumah kayu). Area persawahaan yang ada di sekitarnya ikut rusak tergerus air.

“Wakatu tu hanyo tingga 3 rumah, salabihnyo hanyuik jo rusak parah. Baitu pulo sawah. Sawah lah panuah kasik, kareke jo batu. Lah 4 tahun sasudah itu, baru bisa diolah,” ungkap bapak 7 orang anak ini menjelaskan.

Tak terasa waktu terus berlalu namun, hampir 40 sudah kejadian itu, namun sepertinya Angge tak mengalami kemajuan seperti daerah lainnya. Kehidupan masyarakatnya juga masih tak berubah, mereka sibuk berkutak katik dengan bertani. Namun karena belum berkembangnya pembangunan di daerahnya, itu juga berdampak terhadap pengelolaan pertanian tak maksimal untuk peningkatan pensejahteraan masyarakat.

“Dulu sehari setelah galodo tahun 1976, kami didatangi gubernur Harun Zein. Ini adalah kedua kalinya daerah kami didatangi Gubernur Sumbar. Kami berharap besok bisa berjumpa beliau menyampaikan keluh kesah tentang  daerah ini agar dapat memajukan Palupuh lebih sejahtera,” sebut Jafri yang ditemui, Sabtu(16/4) di lokasi acara alek nagari  berupa Festival Kebudayaan Minangkabau dan pameran pariwisata, kebudayaan, kerajinan dan ekonomi kreatif  dari masyarakat sekitar.

Ia juga menjelaskan, asal muasal nama daerah Angge dimana itu berasal dari nama tumbuhan merambat yang hidupnya di Sarasah atau air terjun di kawasan ini. Tumbuhan itu  bisa disayur, hidupnya menjalar dibebatuan. Sedang Parimbatan berasal dari kata Limbek (Lele) dimana sungai disini banyak ikan Limbek. 

“Sangat pas rasanya jika dibuat gulai dengan ikan limbek (Lele). Gulai Angge Pangek Limbatan. Begitulah dua nama yang kemudian digabung menjadi nama jorong saat ini, Angge Parimbatan. Jika tak pandai menggulai Angge, maka lidah akan gatal. Jika tak pandai menempatkan diri di Angge, tak ada yang  dapat bertahan lama. Begitulah nama Angge ini,” jelasnya.

Siangnya, beberapa jam sebelum festival itu dimulai, rasanya belum lengkap rasanya ketika tak melihat bagaimana anak-anak muda di Angge melakukan latihan silat. Salah satu perguruan silat disana akhirnya memperlihatkan kelincahan anak-anak didiknya bersilat. Disebuah pondok ditengah sawah, mereka melakukan latihan itu, termasuk memperagakan silat harimau kumango yang sangat terkenal tersebut. Takjud, mungkin itu kata-kata yang bisa diungkapkan dari ketertinggalan pembangunan di Angge, ternyata tersembunyi kebudayaan yang hingga saat ini masih terjaga kelestariannya. (penulis pemerhati masalah sosial)

google+

linkedin