TULISAN ini, memang sengaja saya beri judul;”Takana Baraja di Thawalib Padang Panjang.” Tujuannya hanya sekedar mengenang masa lalu yang tak mungkin bisa dilupakan, karena setamat dari sekolah dasar di Kota Pekanbaru, Riau, saya dan Rahmad Wartira yang kini berprofesi sebagai pengacara diantarkan oleh orangtua yang seorang tentara ke pesantren Thawalib Padang Panjang, sekitar 1971.

Sesampainya di sekolah dan sekaligus asrama, saya berkenalan dengan guru yang sangat menyangi muridnya, yang akrap kami panggil Pak Daud. Kemudian, orang tua saya menitipkan saya dan Rahmat Wartira dengan Pak Daud, karena orang tua saya langsung kembali ke Kota Pekanbaru, Provinsi Riau tempat tinggal kami sekeluarga.

Di hari pertama, saya dan Rahmad Wartira ditempatkan  dikamar 5 A, bersama dengan anak pesantern lainya yang datang dari berbagai daerah di tanah air.  Maskipun tanpa orang tua, saya dan Rahmad Wartira asyik bermain dengan meloncat dari kamar 1A sampai ke kamar 6A dan bertanding siapa yang bisa memegang plapon loteng di depan kamar.

Kesokan harinya, saya masih belum belajar dan waktu belum sekolah itu saya manfaatkan berkenalan dengan teman-teman yang datang dari Aceh, Medan, Lampung, Bengkulu dan Kerinci Jambi. Dari Aceh saya berkenalan dengan Syarifuddin, Nyakmat, Chalidin dari mereka juga saya belajar bahasa Aceh. Tapi, dari perkenalan itu, Rahmad Wartira yang lebih hebat berbahasa Aceh dari pada saya, karena saya lebih senang berteman dengan teman-teman dari Lampung, Asmonadib, Syofyan, Atun dan Nasrullah dari Pagar Alam Sumatera Selatan. (mohon maaf, jika ada nama teman yang sempat saya sebutkan).

Hari berganti, bulan pun berganti, tanpa terasa saya sudah bisa membaca Al-Quran, serta memahami beberapa ayat dan memberikan ceramah, karena setiap malam seusai salat isya kami belajar muhadarah yang penceramahnya bergiliran dari masing-masing kelas.

Jujur, saya waktu pertama kali naik keatas mimbar, agak gugup dan tetapi karena saya sudah membuat konsep dengan bimbingan senior, maka latihan pertama itu saya lalui dengan sukses, meskipun saat berceramah tak ada yang bertepuk tangan.

Seperti hari-hari biasanya, kebiasaan kami di pesantren Thawalib, seusai sembahyang subuh langsung menuju Lubuk Mata Kucing untuk mandi pagi. Jarak Thawalib dengan Lubuk Mata Kucing itu sekitar 4 kilometer. Seusai mandi, saya serapan pagi ditempat kost, rumah Amai begitu kami memanggil wanita yang baik terhadap anak Thawalib.

Sebelum masuk ruang belajar, diantara teman-teman ada yang berkumpul sambil ngerumpi dan ada juga yang menghapal ayat al-Quran dan hadist dengan suara yang keras-keras. Tujuannya, kata teman itu supaya mudah mengingatnya.

Kemudian, ada juga diantara teman-teman itu bermain olahraga, seperti sepak takraw dan tenis meja, serta main catur, sesuai hobi dan kesenangannya. Kalau saya lebih memilih bermain tenis meja, walaupun saya tidak pernah menjadi juara dari beberapakali diadakan pertandingan, setiap memeriahkan hari ulang tahun pendirian Thawalib Padang Panjang.

Begitu bel berbunyi, semua murid yang semuanya laki-laki bergegas masuk ruangan belajar yang didalamnya sudah duduk seorang guru. Bagi yang terlambat, selain mendapatkan sanksi, juga diharuskan berjanji, yang janji itu dikatakan dengan suara lantang.

Seusai belajar, kami salat zuhur berjemaah dan kemudian salat ashar berjemaah juga. Setelah itu, kami kembali bermain olahraga yang sesuai dengan hobi. Saya kalau sore hari selalu belajar bermain voli, bersama snior saya Sirajuddin Zar yang sekarang sudah jadi Profesor doctor dan mantan Rektor IAIN Imam Bonjol Padang.

Ada hal yang tak bisa saya lupakan dengan senior Sirajuddin Zar, yakni saya dan Rahmad Wartira sebelum permainan dimulai, diangkatnya dan lantas dilemparkannya  kepada temannya Uda Bakri yang sekarang juga bekerja di IAIN. Setiap saya diangkat dan diopernya, jatung saya serasa mau copot, karena takutnya jatuh. Tapi, lama kelamaan, saya jadi terbiasa diangkat dan dilemparkannya itu, termasuk juga Rahmat Wartira.

Khusus olahraga voli, Thawalib Padang Panjang memang unggul dan sering menjuarai berbagai turnamen, baik yang dilaksanakan di Padang Panjang, maupun yang di Bukitting, Batusangkar, Padang Pariaman, maupun Kota Payakumbuh.

Sementara saya meskipun sering berolahraga voli, tetapi tak pernah menjadi pemain inti di klub Thawalib dan saya hanya sebagai supporter yang selalu berteriak-teriak dipinggir lapangan. Kalau ada yang usil, lantas rebut dan berantam, yang membuat senior saya marah melihat tingkah usil. Tapi, setiap dilarang selalu saya patuhi dan taati. 

Kemudian, karena saya tak mampu menjadi pemain inti di voli, maka saya belajar latihan olahraga tinju, yang prestasinya hanya sebatas Padang Panjang, karena saat Porda yang hanya mampu bertahan diatas ring, karena lawan di kelas bantam itu petinju dari Kota Bukitting yang sudah pernah tampil di PON. Tapi untung saya tidak KO, alias terkapar di atas ring. 

Dari pengalaman saya belajar di Thawalib itu, ada beberapa hal yang menurut saya perlu disampaikan, yakni masalah kebebasan kami belajar dan pembinaan mental yang tak ada penekanan dari para guru dan senior. Maksud, setiap kami belajar masalah ilmu fihq, guru kami yang bernama Arbain, selalu menyebutkan pendapat empat imam, yakni Hambali, Maliki, Syafiie dan Hanafi. Kami dipersilahkan, mau mengikut pendapat yang mana.

Kemudian, kalau belajar ilmu tafsir, guru kami yang bernama Syofyan, selalu mengembangkan buku tafsir Muhammad Abduh dan adakala,  juga mengutif buku tafsir Ibnu Katsir dan Al-jalalain. Tapi, dari pelajar ilmu tafsir itu, guru kami lebih banyak mengutip tafsir Muhammad Abduh, yang kata guru kami itu Muhammad Abduh lebih revolusioner. Kami pun diberi kebebasan mau memilih pemahaman dari buku tafsir tersebut.

Sesampai di asrama, seusai salat magrib berjemaah di masjid yang ada dalam lingkungan Thawalib, kami belajar berpidato menjelang masuk salat isya. Selanjutnya, setelah salat isya, masing-masing kami kembali ke kamar dengan berbagai kegiatan. Ada diantara teman itu yang mengerjakan pekerjaan rumah yang ditugaskan guru dan ada juga yang main gitar di depan asrama, sembari bernyanyi bersama.

Tapi sekitar pukul 22.00 WIB, datang guru yang bertugas untuk mengawasi kami. Yang asyiknya, kalau guru yang ditugaskan itu, pak Yusmar Elmanani (almarhum), kami semua yang ada  di kamar bagian A, akan senang. Soalnya pak Yusman selalu bercerita berbagai masalah, baik politik, maupun masalah kehidupan.

Kemudian,  Pak Yusman bercerita dan berbagai pengalaman, secara tak langsung menambah wawasan dan pengetahuan kami tentang dunia politik, baik di Sumatera Barat, Indonesia, maupun masalah internasional, yang ada kaitannya dengan nasib umat Islam diberbagai Negara.

Sedangkan kalau berbicara politik, banyak membahas, sepak terjang Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahril, M Nasir dan Buya Hamka, termasuk membahas masalah  PKI dari berbagai masa periodenya dan pemberantakan yang dilakukan, termasuk menzalami umat Islam di Indonesia.

Tanpa terasa, saya menamatkan belajar di Thawalib selama enam tahun dan hidup selalu diasrama dan pulang ke Kota Pekanbaru setiap libur bulan puasa. Setelah tamat, kembali orangtua saya memaksakan kehendaknya, agar saya melanjutkan sekolah di IAIN Imam Bonjol Padang, yakni di Fakultas Dakwah. Tampanya, orang tua saya menghendaki saya jadi mubaliq atau kiyai. Tapi, cita-cita orangtua saya ternyata tak bisa saya turuti dan saya lebih senang menjadi wartawan, sampai sekarang.

Pada kesempatan ini, saya juga ingin memberikan sejarah singkat perguruan Thawalib Padang, yang jauh sebelum tahun 1900 dibawah asuhan Syekh Abdullah Ahmad Perguruan Thawalib telah memulai pendidikannya dengan sistim halaqah bertempat di Surau Jembatan Besi Padang Panjang, yang kemudian pada tahun 1911 dilanjutkan oleh DR.H. Abdul Karim Amarullah, seorang ulama besar yang baru pulang belajar dari Mekah yang dikenal dengan sebutan Inyiak Rasul (ayah Alm. 
Buya HAMKA). Beliau sekaligus merubah sistim belajar dari halaqah menjadi klasikal.

Pada tahun 1926 dibawah pimpinan Tuanku Mudo Abdul HaAmid Hakim, dibangun lokal belajar di jalan Lubuk Mata Kucing (Kampus Thawalib Putra sekarang). Mulai tahun 1959 Perguruan Thawalib dipimpin oleh H.Mawardy Muhammad, dan pada tahun 1974 membuka Perguruan Tinggi Fakultas Dakwah dan Publisistik, Fakultas Syari’ah wal Qanun bersama-sama dengan Prof.DR.KH. Zainal Abidin Ahmad (Alumni Thawalib, mantan Ketua Parlemen RI, Wartawan dan Pengarang). Kemudian Perguruan Thawalib dipimpin oleh murid-murid H.Mawardy Muhammad ; Drs.H. Abbas Arief, H. Djawarnis,Lc. Prof.DR.Sirajuddin Zar (Rektor IAIN “IB” sekarang), Prof.DR.H.Tamrin Kamal,MS. Firdaus Tamin, BA.

Tahun 1989 Perguruan Thawalib menerima siswi khusus putri, tempat belajar dan asramanya terpisah dari Thawalib Putra. Tahun 2002 Thawalib menambah lagi jenjang pendidikan, yaitu dengan mendirikan Taman Kanak-Kanak Al Quran ( TKA ), yang kemudian dilanjutkan membuka Madrasah Ibtidaiyah Unggul Terpadu ( MIUT ) pada tahun 2004. Saat ini Perguruan Thawalib telah berkembang dengan memiliki empat jenjang pendidikan mulai Taman Kanak-Kanak Al Quran ( TKA ), Madrasah Ibtidaiyah Unggul Terpadu (MIUT), Madrasah Tsanawiyah dengan nama Thawalib A, Madrasah Aliyah dengan nama Kulliyatul ‘Ulum el Islamiyah (KUI) Putra & Putri.

2. VISI & MISI   
VISI: Terwujudnya pendidikan yang konsern dan konsisten, yang Tafaqquh Fiddin (mendalami ilmu-ilmu agama Islam) agar siswa/i yang dididik menjadi muslim-muslimah yang berakhlaq mulia, cerdas, dan menguasai serta mengamalkan ilmu agama .                                                                      

MISI:Menyelenggarakan pendidikan Islam yang berorientasi mutu, baik keilmuan maupun moral serta memproses anak didik untuk mendapatkan kecerdasan sosial untuk menuju masyarakat madani yang islami, dengan semangat “ Bangkit Menjawab Tantangan, Maju Memandu Perubahan”.

3. TUJUAN PENDIDIKAN
1. Mendidik para siswa agar menjadi kader-kader umat untuk mendalami masalah-masalah agama dalam bentuk pemahaman yang benar serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
 2. Membina para siswa berperilaku islami dan berakhlak yang mulia, melatih dan mebiasakan siswa puasa Senin Kamis dan Sholat malam ( Tahajjud ), sehingga bisa menjadi contoh teladan dan ikutan yang baik bagi lingkungannya.

3.Mengarahkan para siswa untuk bisa menselaraskan dasar-dasar agama dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi modern dalam memenuhi kebutuhan hidup dunia -akhirat.                                                                                                                                   

4. TENAGA PENGAJAR
Tenaga pengajar di Perguruan Thawalib Padang Panjang saat ini terdiri dari guru-guru yang sudah berpengalaman dalam bidang pengetahuan agama dan umum sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya yang berasal dari berbagai perguruan tinggi Dalam dan Luar Negeri, seperti : Universitas Ibnu Su’ud Riyadh, Universitas Al- Azhar Cairo, Unversitas Negeri Padang, Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Akademi Bahasa Arab (Aqabah) Lipia Jakarta, Akademi Management Ilmu Komputer Padang, Sekolah Tinggi Seni Indonesia.

Pendidikan yang dikembangkan Thawalib merupakan hasil interaksi dari dunia Islam dalam pembaharuan pendidikan Islam melalui pemikir-pemikir dan pembaharu (Mujaddid).
Alasanya;“ Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama,dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (Q.S. At-Taubah : 122) 

“Menuntut ilmu itu kewajiban setiap Muslim dan Muslimah” (Hadits).
“Sesungguhnya aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia” (Hadits).
Dalam mengamalkan perintah Allah SWT dan Sunnah Rasulullah SAW itu Perguruan Thawalib Padang Panjang terus berusaha dan mencoba segala upaya seluruh konsep pendidikan demi menghasilkan anak-anak yang shaleh yang paham masalah agama secara mendalam. (Yal Aziz)                  

google+

linkedin