BIJAK ONLINE-Kabag Humas Pemerintah Kota Payakumbuh John Kenedi menyatakan profesi jurnalistik atau wartawan saat ini tidak lebih baik ketimbang profesi buruh angkat di pasar atau petani yang bekerja di ladang.

“Lebih baik bekerja sebagai tukang angkat di pasar, atau menjadi petani di ladang, jaleh pitihnyo,” kata John Kenedi, kepada wartawan Suara Minang, di Payakumbuh,

John Kenedi menilai sangat sulit menyandang profesi jurnalistik sekarang, alasannya profesi ini dilakoni banyak orang dari berbagai penerbitan yang menurut dia tidak mempunyai skill yang sesuai. “Kenapa susah-susah menjadi wartawan, serba tidak jelas. Apa yang mau dikerjakan sementara kegiatan (pemerintah) masih itu-itu saja,” ujarnya.

John Kenedi juga menyatakan keheranannya pada Koran Umum Suara Minang dengan alasan terlalu banyak menempatkan jurnalis atau wartawan di wilayah kota Payakumbuh dan Kabupaten 50 Kota. Padahal, ujarnya koran harian di Sumbar lebih sedikit wartawannya.

“Di wilayah yang sama koran harian daerah di Sumbar, Padang Ekspres, Singgalang, dan Haluan, hanya menempatkan wartawan masing-masing dua orang, Suara Minang bukan harian tiga orang, kan terlalu banyak tuh,” ucapnya penuh heran.

John heran dengan tugas yang akan dilaksanakan wartawan di wilayah kerjanya, Pemerintah Payakumbuh. Dia mengisyaratkan keberatan dengan adanya wartawan Suara Minang yang mengemban misi, “Menegakkan Jatidiri Bangsa,” dan “Jembatan Masyarakat Minang Ranah dan Rantau” di wilayah kerjanya, kota Payakumbuh.

Suara Minang terbit pertama kali pada Maret 2007 di Jakarta, mengalami turun naik dalam pengembangannya. Permintaan berlangganan di rantau datang dari pemuka dan tokoh masyarakat Minang di Jabodetabek, Bali, maupun Banten di samping Bengkulu dan Lubuk Linggau (Sumsel) dan baru memperluas pengembangan di Ranah Minang sebagai pusat masyarakat Minangkabau se-dunia.

Sebagaimana disampaikan Pimpinan Umum KU Suara Minang IDH Chaniago, Suara Minang sebagai media cetak tengah dilakukan penguatan dengan online-nya yang sempat terhenti beberapa waktu belakangan. Itu dilakukan agar informasi yang diusung dari daerah-daerah, dari nagari per nagari di Ranah Minang bisa sampai pada pembacanya di rantau.

“Suara Minang sejak awal mengemban misi, Menegakkan Jatidiri Bangsa, menjadi jembatan masyarakat Minangkabau di rantau dan Ranah Minang (Sumbar). Karena itu tidak lebay bila menempatkan wartawan sesuai kebutuhan koran ini di Ranah Minang karena menyangkut misi yang diemban tersebut. Jangan samakan dengan media lain yang ada di Sumbar meskipun sudah eksis namun berbeda misi,” kata dia.

Misi Suara Minang yang tertuang sebagai moto di koran tersebut, ujar IDH Chaniago bukan sekarang saja munculnya. Namun, misi itu sudah diperhitungkan sejak awal penerbitan Suara Minang di Jakarta.

“Moto ini bukan tren karena sekarang ada RUU Pilkada, tidak. Pendirian Suara Minang beranjak dari filosofi Minangkabau, adat basandi syarak, dan syarak basandi Kitabullah. Secara nasional, mengangkat jatidiri bangsa yang intinya keberagaman dilandasi demokrasi musyawarah mufakat yang tidak lain merupakan akar demokrasi masyarakat Minangkabau,” ujarnya.

Oleh karena itu, kebutuhan wartawan terutama di Sumbar akan jauh lebih banyak lagi ke depan dari keadaan saat ini baru tiga orang per wilayah kabupaten kota. “Ranah Minang adalah pusatnya orang Minang se-dunia jadi informasi mengenai Ranah Minang jauh lebih banyak lagi yang semestinya diangkat namun belum terlaksana. Jadi tiga orang itu masih kurang nanti pada waktunya akan ditambah lagi. Jadi jangan khawatir justru bersyukur ada Suara Minang yang diharapkan bisa membawa nama Minangkabau di dunia jurnalistik,” kata IDH Chaniago.

Jadi, kata IDH Chaniago tiga orang itu masih kurang nanti pada waktunya akan ditambah lagi.Justru itu jangan khawatir justru bersyukur ada Suara Minang yang diharapkan bisa membawa nama Minangkabau di dunia jurnalistik. (rel)

google+

linkedin