JUJUR, saya bukan pakar transportasi dan bukan pula ahli bidang pariwisata. Saya hanyalah seorang wartawan yang kebetulan ingin menulis tentang dunia pariwasata Kota  Padang, yang boleh dikatakan tak terurus  dan diabaikan, terutama masalah bendi, yang juga bisa dikatakan telah punah.
 
Padahal, bendi merupakan transportasi tradisional di Kota Padang, Sumatera Barat, tempo doeloe. Bahkan, bisa juga dikatakan kalau bendi sebagai alat transportasi masyarakat Minang yang berbentuk kereta kuda dan hampir mirip dengan sebutan delman atau andong.

Kalau zaman tempo doeloe, tak semua masyarakat di Minangkabau yang  bisa naik bendi, karena bendi merupakan transportasi kaum yang terpandang dalam kampuang. Tapi, di era 70-an di Kota Padang, bendi sudah menjadi kendaran masyarakat umum. Namun di era 90-an, bendi telah mulai dilupakan masyarakat dengan adanya angkutan kota berupa mikrolet dan bis kota. 
Tragisnya, di era 2000-an, bendi sudah digusur dan ironisnya Walikota Padang, tak menampakan kepeduliannya dan membiarkan alat transportasi tradisional itu digilas zaman. Padahal bendi bisa dijadikan alat transportasi wisata.

Sebagai wartawan dan masyarakat Minang, tentu saya dan kusir bendi  berharap agar bendi tetap dilestarikan dan kemudian bendi diberi rute wisata, terutama untuk kawasan wisata pinggir laut atau yang populer bagi masyarakat taplua.
 
Kenapa bisa dijakdikan alat transportasi wisata? Karena bendi termasuk alat transportasi tradisional yang unik dan punya kesan klasik, yang bisa mengundang minat wisatawan asing terutama bule dari negara Erapa.

Tanpa bermaksud menggurui walikota dan kadis pariwisata, bendi harus dijadikan kendaraan khusus di beberapa objek wisata dalam Kota Padang, terutama di kawasan wisata pinggir laut menuju Jembatan Siti Nurbaya dan objek wisata Batu Malinkundang, lagenda yang telah mendunia tersebut. Bahasa tegasnya, bendi harus menjadi aset pariwisata klasik yang dikelola secara terencana dengan baik. Sebab,  keunikan dan orisinalitas bendi, jelas  akan mampu mendongkrak jumlah wisatawan asing  untuk menikmati babendi-babendi.

Kemudian, Dinas Pariwisata Kota Padang harus menjadikan bendi sebagai aset pemerintah daerah dengan membeli dan menjadikan bendi sebagai alat trasportasi satu-satunya di objek wisata pinggir laut atau taplau

Jika masih ada masyarakat yang masih punya bendi, maka diharapkan kadis pariwisata Kota Padang untuk membimbing dan mengayomi para kusir bendi tersebut dan menimal para kusir bendi itu bisa dan mampu berbahasa inggris, sedidikit-sedikit.
 
Kini, persoalan bendi, hanya tinggal masalah keinginan  pemerintah Kota Padang, apakah mau melihat  peluang bendi sebagai aset dan ciri khusus industri wisata di Kota Padang. Soalnya,  bendi tidak hanya punya nilai sejarah, tetapi bendi juga unik, klasik dan punya daya tarik dan bisa mengundang kiinginan turis atau wisatawan untuk babendi-bendi. (Bersambung dan penulis wartawan tabloid bijak)



google+

linkedin