LANGIT Pendidikan kita tampaknya sedang sedih. Angin jahat bagai tiada henti merayu awan menurunkan duri bak rinai keras menikam hati nan menggoyang tali jantung perasaan. Ia basah menyiram lantai kehidupan yang kian licin. Ulah tarian makin teya di atas pesta dunia tiada henti, rentak patah masihkah dikira terkilir juga?Masihkah kita tercandu menyurukkan luka sampai bernanah membangkai dan membiarkan aroma busuk menyengat hidung di bawah mata yang sakit. Ataukah kita terbiasa atau membiasakan diri menyuruk di ilalang sehelai. Apakah kita mampu menutup mata saat di mana di sela jari tampak juga?
        
Pada hari Minggu (12/10) itu dua kabar buruk singgah di daun telinga, memekak di anak gendang kuping kita. Ia gaduh seluruh rasa dan jiwa, lalu terundang air mata yang jatuh di atas kaca pendidikan kita yang kian lama makin berembun tebal jua. 

Kabar pertama, ramai di youtube dan di berbagai media sosial kita tentang kekerasan di sekolah yang dilakukan pelajar SD. Tampak jelas, seorang gadis kecil berkerudung yang berusaha berlindung di tupang suduik (dinding atau sudut siku-siku 90 derjat) dari terjangan, pukulan para bocah lelaki. Sekalipun ia tampak  berusaha menahan sakit, namun sedak tangisnya terdengar juga.

Semula kita hampir tak percaya bila kejadian itu di bawah langit Minangkabau   yang menjunjung tinggi filsafah alam takambang jadi guru dan adaik basandi syarak-syarak basandi Kitabullah. Semula ingin benar kita membantah dan berharap semoga kejadian itu bukan di alam yang sangat menghargai kaum perempuan. Minangkabau adalah nagari yang bersepakat pada adat matriakat, di mana garis keturunan dari garis ibu. Kaum wanita Minangkabau adalah kaum yang sangat dimuliakan dalam sebutan bundo kanduang. Dunsanak perempuan, tempat berbagi kasih dan sayang, tempat “meminta segelas kopi”. Bahkan, tempat singgah sementara bila berganyi dengan bini. Adalah aib besar bagi lelaki Minangkabau untuk main tangan pada saudara perempuannya.

Video itu, sungguh menyayat!

Alam Minang, adalah alam yang menyeru pada “anak dipangku, kemenakan di bimbing”. Kalau terjadi sesuatu pada seorang kemenakan, yang ditanyakan dulu, kemenakan siapa itu, begitu tradisi di Minang ini. Peristiwa tragis yang miris itu, adalah sebuah peristiwa yang “dikirim” alam untuk kita mengkaji diri.

Lalu, masih pada hari yang sama, seorang pelajar SUPM Pariaman meninggal di RSUP DR M Djamil akibat dianiaya oleh seniornya. Dikabarkan, pihak keluarga telah melaporkan penganiayaan ini pada polisi.

Sungguh, atas dua kejadian buruk itu, masihkan kita menyuruk-nyuruk juga lagi? Apakah kita sudah terperangkap pada perumpamaan rancak di labuh? Bila begitu siapkanlah sejak kini ratap, biar sesal tetap gagah bersembunyi pada rumah besar berpagar emas perak tembaga namun berbilik penuh bangkai. Percayalah, sepintar-pintar kita menahan air mata nan sedu akan terdaguk, selihai-lihai kita menyimpan bangkai nan angin berkisai tak akan berhenti mengirim bau busuk!

Dua peristiwa itu tak semata tragedi pendidikan, namun juga bernuansa kecelakaan kebudayaan yang menghantam moral dan mencibirkan tenggang rasa; rasa sasakik, rasa sasanang, rasa saiyo dan sakato itu lenyap. Ia hanyut tertelan derasnya arus kehidupan kelat, manis, asam dan asin itu.

Kita gamang, perut berpiuh merumas sekiranya kekuatan falsafah hidup kita yang orang Minangkabau ini tinggal dongeng dari warisan nenek moyang awak. Awak tak bisa membayangkan, di saat  tanah ulayat yang kita bangga-banggakan itu terkupis sedikit demi sedikit lama-lama menjadi habis, falsafah dan segala tradisi lama-lama menjadi terkikis lalu, ya itu tadi hanya tinggal riwayat manis yang terpatri di prasasti entah mana...Bila ini terjadi, (sekali lagi) Minangkabau akan selesai!

Awak jatuh orang bertepuk tangan pula.

Vidio kekerasan murid SD di sekolah itu saya ketahui pada Minggu siang. Anak saya yang pelajar kelas VIII MTsN Bukittinggi mendapatkan kiriman  dari BBM-nya. Kiriman video itu ia tunjukkan pada saya. Saya tercekat menyaksikannya. Saat itu pula saya memeriksa youtube. Lekas saya mengekspresikan rasa saya melalui sebuah tulisan dalam status FB saya. Memang, sejak 7 hari belakangan ini, saya hampir tak keluar rumah, ada 2 buku yang harus saya rampungkan segera. Selama itu pula saya nyaris tak berselancar membaca kabar dunia di internet. Tujuh hari itu dunia saya memang terkurung informasi luar. Ternyata, video itu sudah beredar sejak Sabtu siang, sementara saya mengetahuinya adalah Minggu menjelang sore.

Setelah saya membuat status, tak tahan saat itu juga saya menghubungi Pak Ismet walikota Bukittinggi. Hasil dari percakapan itu, saya muat pada catatan FB saya.

Pada ruang lain, di mata saya, orang yang pertama menyampaikan kabar ini di media sosial dan facebook, adalah seorang pahlawan bagi orangtua semua. Saya yakin, kejadian ini tak tertutup kemungkinan ada di berbagai sekolah, tak yang mengungkapkan, atau tak ada yang berani mengungkapkannya. Dalam pikiran saya, bila kita terus berusaha menyuruk-nyurukkan bangkai, ketika baunya menyengat hidung lalu baru kita galeboh dan konyolnya saling tunjuk dan saling menyalahkan.

Jangan sampai terjadi, lah mati nak bujang atau nak gadih urang baru awak tapanggang dan meratap massal. Dalam sebuah tayang TV One, ternyata bocah perempuan korban “penyiksaan” itu sudah setahun dibully oleh teman-temannya. Tapi, tak diketahui oleh guru dan orangtua. Bayangkan, sekiranya tak ada yang berani mengungkapkan peristiwa ini di media sosial FB, kita khawatir, peristiwa berlarut-larut dan mendatangkan air mata yang luar biasa bergenang-genang.

Sebagai seorang masyarakat, sebagai seorang ayah dari anak yang juga masih murid SD, secara pribadi saya menyampaikan terimakasih dan apresiasi pada pemberi kabar pertama di media sosial tentang peristiwa tersebut. Ia dengan segala nyali dan ia dengan segala konsekwensi sosial, bahkan hukum, dengan berani dan berhati serta dengan bernyali dan  hebat telah mengungkap sebuah kebenaran yang kelat di tengah alam Minangkabau khususnya, dan dunia umumnya. Bagaimanapun, kabar itu tak lagi menasional, tapi sudah menembus anak gendang telinga dunia.

***
Senin, (13/10) pagi, telepon saya berdering. Ternyata dari sahabat karib saya, H Febby Dt Bangso Nan Putiah. Di mata saya, Febby adalah sosok anak muda hebat berprestasi. Ia tercatat sebagai ketua partai termuda berlevel Sumbar. Ya, Febby adalah Ketua DPW PKB Sumbar. Febby adalah salah seorang tokoh PKB yang mempioniri pendeklarasian H Jusuf Kalla sebagai calon presiden dari PKB. Itu setahun yang lalu. Pada pemilihan legislatif yang lalu, Febby caleg Dapil 2 untuk DPR RI. Febby berhasil mengumpulkan suara sekitar 50 ribuan. Ia gagal duduk lantaran minimnya dukungan suara dari sesama kawan separtai di dapilnya.

Waktu kampanye dulu, saya bersama Febby. Ikut berkampanye untuk FB ke mana-mana. Saya seirama dalam pandangannya. Kami sama-sama berpihak pada apa yang kami sebut sebagai Gerakan Tradisi. Kami sempat menghimpun 22 guru atau tuo silek untuk meneruka berdirinya Himpunan Silek Tradisi Minangkabau. Kami sama-sama memiliki pandangan sosial dan politik yang mirip, yakni demokrasi dan kerakyatan; kekuasaan yang demokrat dan kekuasaan yang berpihak pada rakyat, bukan kekuasaan bertangan besi penindas rakyat!

Pada Pilpres yang baru lalu, kami juga sependapat dan sepikiran. Kami sama-sama mendukung pasangan Jokowi-JK. Bersama kami ada lagi satu budayawan yang sangat kental mendukung Jokowi-JK, yakni budayawan dan wartawan Asraferi Sabri. Jadilah kami bertiga melakukan gerakan kampanye untuk Jokowi-JK.

Karakter Febby di mata saya adalah karakter nan pahibo. Ia kritis. Ketidakadilan yang melangau di depan matanya adalah sesuatu yang paling membuat ia gelisah. Yang saya suka dari Febby, ia suka membantu orang yang sedang susah. Benar adanya, bila tak mampu ia membantu dengan materi, setidaknya dengan moril, tak mampu moril, setidaknya dengan doa!

Febby itu dalam pandangan saya adalah sahabat yang elok, rendah hati, gigih dan berani untuk sebuah kebenaran. Kalau ada sesuatu yang benar yang tersuruk atau disuruk-surukkan, urat leher mau ia kalangkan asal kebenaran itu tegak! Febby, sosok palapau, pamusajik dan pakawan sarato pabatu cincin. Ia karakteristik lelaki Minangkabau sajati.

Ya, tak lama setelah menelpon saya, Febby singgah ke rumah. Bila mengantarkan dua putrinya yang cantik-cantik yang masih pelajar SD itu, Febby akan selalu lewat jalan depan rumah saya di Bukittinggi. Ia adalah ayah yang sangat sayang anak dan istri. Betapapun sibuknya ia, yang ngantar anak ke sekolah tetaplah sahabat saya ini.

Saya memanggil Febby dengan sebutan “Ji”. Maksudnya “Haji”. Ia ke saya, ber-uda.

Memang benar adanya, sejak sebulan belakangan ini saya dan Febby nyaris hilang kontak. Mungkin karena kesibukan masing-masing.

Pagi Senin itu, usai mengantarkan dua putri ke sekolah, Febby singgah ke rumah saya.

Seperti biasa, wajahnya tetap cerah, ceria dan senyum lepas bagai senyum JFK.

Lalu kami bercakap-cakap. Dan awal percakapan itu sangat membuat saya terkejut dan lama terdiam.

“ Da Pinto, ambo marasai kanai caci, kanai maki dek urang!” kata Febby.

“ Ha, apo masalahnyo tu Ji?”

“ Ambo nan partamo maungkapkan peristiwa penganiayaan murid SD nan rami di youtube tu “, kata Febby. Saya tahaniang. Lalu saya tersenyum kecil seraya menyurukkan keterkejutan supaya tak mempurba. Saya biarkan Febby bertutur.

Kata Febby, video itu berawal dari seorang lelaki yang berkedai tak jauh dari TKP atau sekolah itu. Seorang bocah SD menunjukkan video tersebut kepada lelaki pemilik kedai itu. “ Pak Uwo...Pak Uwo...caliak video ko heh...!” kata bocah tersebut kepada lelaki yang dipanggilnya dengan Pak Uwo itu.

Besar kemungkinan, lelaki nan Pak Uwo ini tak tahan menyaksikan peristiwa itu. Kemudian lelaki tersebut, menurut Febby, pergi ke sebuah warung di jalan Sudirman Bukittinggi. Warung itu dikenal dengan sebutan “Taliban”. Warung tersebut tempat nongkrongnya sejumlah wartawan, politisi, tokoh LSM dan tokoh masyarakat.

Pak Uwo memperlihatkan video dalam HP itu ke sejumlah wartawan. Hari itu adalah Rabu ? ( 8/10). Menurut H Febby ada tiga wartawan yang segera melacak kasus video tersebut ke TKP. Didapat keterangan dari pihak guru (?) di sana bahwa peristiwa itu sudah diselesaikan karena disebut-sebut bahwa itu hanya sebagai suatu yang hanya sekedar bagarah atau bagaluik seperti smekdon di layar kaca kita. Tak puas dengan jawaban guru, dikatakan Febby, tiga wartawan di Bukittinggi tersebut mengonfirmasikannya pada pihak dinas Pendidikan kota ini. Konon, lagi-lagi wartawan mendapat jawaban mirip; sudah diselesaikan, dan itu hanya cendrung “garah anak-anak”. Ya, begitulah kira-kira.

Dua hari kemudian H Febby datang ke kadai Taliban. Di kedai ini ia diperlihatkan oleh salah seorang wartawan, video kekerasan murid SD tersebut.

“ Ondeh Da Pinto, runtuh hati awak mancaliak video tu. Dan makin runtuh katiko dapek kaba bahaso peristiwa ko kurang dapek respon dari pihak berwenang, seperti pihak sekolah dan dinas pendidikan awak. Awak takuik kalau kekerasan sarupo balanjuik nantiknyo....”  Febby tadiam sabanta.

Dikatakannya, pada Sabtu pagi ia membuat status di FB tanpa disertai unggahan video kekerasan itu. “ Waktu itu, nyaris publik tak menanggapi. Hanya ada sekitar 4 komentar saja “, ujar H Febby.

Pada Sabtu jelang siang itu, ia kembali membuat status “prihatin” atas sebuah peristiwa yang terjadi di sebuah SD di Bukittinggi. Kali ini, status itu disertai dengan unggahan video kekerasan tersebut. Dengan cepat, status Febby dikomen oleh banyak orang, lalu dengan cepat pula video itu terbagi sebanyak 8 ribu share.

Sabtu malam, kasus tersebut langsung jadi buah bibir (trending topic) di FB. Pun, selang berapa lama setelah Febby mengunggah video tersebut, tahu-tahu saja itu video sudah terunggah pula di you tube. Pembicaraan makin ramai dan luas. Tanggapan mulai keras dan kritis.

Ketika maksud Febby sudah selesai, yakni ketika kasus tersebut sudah menjadi kasus publik, pada Sabtu malamnya itu juga, Febby menghapus video itu dari FB-nya.

PASCA TERUNGKAPNYA KASUS

Saya masih ingat, Febby adalah salah seorang tokoh yang sangat prihatin dengan peristiwa kekerasan di sekolah. Pada setahun yang lalu, H Febby membuat grup di FB, yakni Grup Gerakan Aman dan Nyaman di Sekolah. Kepedulian H Febby atas dunia pendidikan memang luar biasa adanya. Sejak dulu kami sama bercita-cita hendak mendirikan Sekolah atau Institut Minangkabau. Sekolah itu berkaca pada Alam Takambang Jadi Guru. Pelajaran pokoknya adalah Agama dan Adat. Komplek sekolahnya mirip perkampungan Minang mini. Para siswanya belajar bersilat, mengenal tradisi, mangaji, mangkaji, ilmu badagang, bakreasi,  dan lainnya yang berhubungan dengan Agama dan adat dalam konsep sukses dunia sukses akhirat.

Tapi, entahlah, entah kapan mimpi kami itu terwujud.

“ Da Pinto, kini awak marasai dihujat. Dituduah mampamalukan nagari surang. Dituduah macam-macam. Bahkan dituduah pula telah menyebarkan video beraroma rekayasa bernuansa politik !” keluh Febby.

 Ya, lupa saya mengabari. Bahwa sejak beberapa bulan belakangan ini nama H Febby kerap kali disebut-sebut sebagai kandidat kuat calon walikota Bukittinggi. Beberapa tokoh masyarakat dan para tokoh muda dikabarkan mencalonkan Febby untuk maju jadi walikota di Bukittinggi. Bahkan, beberapa partai sudah dapat dipastikan bakal mengusung Febby menuju Pilkada Bukittinggi.

Ya, itulah malangnya.

Karena cendrung hilangnya kepercayaan pada tokoh politisi, ketika gerakan moral dilancarkannya, kecurigaan ‘lawan politik’ gampang terpicu. Maka terjadilah apa yang disebut sebagai momen di atas momen! Apa yang dilakukan Febby, dianggap sesuatu beraroma politis. 

Bahkan ada di antara masyarakat rantau yang menelponnya. Penelpon itu mengatakan bahwa Febby telah memalukan kampung halaman dengan mengunggah video itu di FB. Bahwa FB, kata sang penelpon bisa diancam UU IT.

Tapi ketika Febby bertanya balik kepada sang penelpon, apa yang akan ia lakukan sekiranya kasus itu menimpa putrinya? Serta-merta sang penelpon terhanok dan langsung sepaham dengan Febby. “ Kalau begitu Pak Febby, teruskan perjuangan Bapak. Saya salut dengan Bapak yang tetap komit berjuang untuk rakyat badarai sekalipun tak duduk sebagai anggota DPR”, ulas sang penelpon itu.

Pro dan kontra adalah adat dunia. Itu alamiah! Ia dimaki atau dipuja, itu akibat!

Dulu, para pejuang kemerdekaan kita ditangkap Belanda, dibuang bertahun-tahun. Hatta, Sutan Syahrir, Soekarno dan sejumlah nama pejuang Indonesia lainnya, pernah mengecap peristiwa kelat di penjara Belanda.

Kini, H Febby karena membela rakyat melalui FB, ia justru terpojok dan disudutkan dengan ancaman UU IT; penjara! Dan, biasanya bagi seorang aktivis sosial, penjara adalah “kado terindah”.   Tapi beberapa orang berpendapat bahwa itu hanya sebuah upaya pengalihan isu semata. Pengalihan isu “buruknya” cermin pendidikan kita, ke isu hendak ditangkapnya  Febby. “ Saya yakin, kalau Febby dipanggil polisi, Indonesia juga akan ribut. Di mana seorang tokoh masyarakat dan ketua partai ditangkap karena membela masyarakat. Bila itu terjadi, itu akan seru, biasanya orang partai atau ketua partai, ditangkapnya kan bukan karena membela rakyat, tapi acap terdengar karena menilep uang rakyat atau korupsi. Bila Febby ditangkap, maka kami rakyat siap berada di belakang Febby. Ini untuk sebuah kebenaran”, kata seorang tokoh di sebuah warung.

Bagi saya, apakah persoalan kekerasan itu cukup diselesaikan secara kekeluargaan saja? Mungkin tidak. Ada Undang-undang Perlindungan anak yang ancaman hukumannya hingga 5 tahun. Untuk sebuah efek jera, saya sependapat dengan hukum, bagusnya; dibawa saja ke ranah Undang-undang.

Kembali Febby, dulu kami pernah merencanakan sebuah Seminar tentang “ Kekerasan di Sekolah”.

Pagi pada kunjungan Febby ke rumah saya itu, kembali kami mengapungkan rencana lama untuk akan segera membuat seminar sederhana tentang kekerasan di sekolah, dengan menghadirkan, ninik mamak, piskolog, pakar hukum, budayawan, pejabat dan tokoh-tokoh yang berkaitan dengan topik pembicaraan.

Akhir lisan dan tulisan, saya dan H Febby sependapat bahwa kasus ini bukanlah kasus biasa; ini tidak sepele. (Penulis adalah Penyair Akulah Sang Raja)

google+

linkedin