BIJAK ONLINE (Opini)-Program Gerakan Pensejahteraan Petani (GPP) yang dimulai tahun 2011 adalah sebuah kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dalam bentuk gerakan terpadu SKPD terkait serta pemangku kepentingan lainnya (Litbang Pertanian dan Perguruan Tinggi) dengan tujuan mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan pendapatan rumahtangga petani (RTP) berpenghasilan rendah (kurang Rp 2,0 juta/bulan).
Rendahnya pendapatan petani terutama disebabkan sempitnya luas lahan yang dikuasai petani kurang lebih 0,5 ha (sawah dan lahan pekarangan), dan tenaga kerja keluarga 1-2 orang dengan jam kerja efektif 3,0-3,5 jam per hari) dan lemahnya modal usaha.
Strategi yang ditempuh untuk perbaikan pendapatan adalah mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pertanian yang dimiliki petani melalui perbaikan teknik produksi didukung oleh inovasi teknologi, peningkatan skala usaha yang sudah ada, penumbuhan usaha baru sesuai potensi kondisi agroekosistem setempat dan keinginan petani, dukungan sarana dan prasarana produksi.
Pendekatan pengembangan usaha dilakukan melalui kelompok tani (Poktan) dimana anggotanya dominan masuk kategori RTP berpenghasilan rendah/miskin. Untuk pembinaan petani sasaran, dibentuk Tim Pembina Provinsi (SKPD terkait) dan Tim Teknis Kabupaten/Kota (SKPD terkait) serta penyuluh pendamping sebagai ujung tombak pendampingan rutin pada setiap nagari/kelurahan dimana Poktan GPP berada.
Persoalan kemiskinan menjadi perhatian serius pemerintah. Jumlah penduduk miskin menurut data BPS (2014) dari tahun ke tahun terus berkurang, pada tahun 2011 sebesar 8,99%, tahun 2012 8% dan tahun 2013 turun menjadi 7,56%. Dari sejumlah penduduk miskin tahun 2012, sekitar 34,89% adalah petani, dan selebihnya adalah bekerja di sektor non pertanian dan tidak bekerja. Hal ini yang melatarbelakangi pentingnya kegiatan GPP ini dilakukan.
Jumlah petani sasaran GPP sudah diinventarisasi mulai tahun 2011-2014 sebanyak 22.320 RTP dan sebagian besar di antara mereka pengembangan usahanya sudah difasilitasi dalam bentuk fisik (benih/bibit tanaman, ternak dan ikan, sarana produksi lainnya), dan bantuan prasarana untuk kepentingan bersama (kelompok) yaitu pebaikan irigasi, jalan usahatani, dan alisintan terutama hand traktor. Jumlah fasilitasi pengembangan usaha bagi setiap poktan dan petani sasaran GPP tergantung pada kemampuan dana pada tahun berjalan. Sampai tahun 2014 jumlah investasi untuk GPP lebih dari Rp 170 milaar yang bersumber dari APBD dan APBN.
Manfaat kegiatan GPP akan terlihat dan dirasakan oleh petani memerlukan waktu dan keseriusan petani pelaksana serta pembinaan dan pendampingan berkelanjutan. Usaha pertanian untuk menghasilkan waktu sesuai umur mulai berproduksi seperti tanaman berumur panjang, kakao dan buah-buahan menghasilkan umur 3-4 tahun setelah tanam, ternak sapi paling cepat 1 tahun sejak dipelihara petani, hanya tanaman semusim yang menghasilkan dengan jangka waktu pendek 4-5 bulan.
Potret perkembangan pelaksanaan GPP hasil evaluasi Litbang Pertanian (BPTP) terhadap Poktan dan petani sasaran GPP tahun 2011 dan 2012, menunjukkan bahwa sebanyak 372 kelompok tani sudah difasilitasi dengan aneka usaha dan sarana serta prasarana produksi. Jenis usaha dominan yang difasilitasi adalah padi sawah, jagung, aneka buah-buahan, kakao, ternak sapi, ikan, pengembangan usaha lahan pekarangan (RPL), dan tanaman kayu serta didukung oleh prasarana produksi. Bentuk fasilitasi adalah peningkatan kapasitas Iptek petani (melalui sekolah lapang-SL dan percontohan inovasi teknologi pertanian), bantuan benih/bibit/induk sapi, pupuk/pakan, dan sarana lainnya serta prasarana (alsintan, perbaikan irigasi dan jalan usahatani).
Fasilitasi usaha tersebut telah meningkatkan skala usaha, jumlah usaha, perbaikan teknik produksi, penurunan biaya pengolahan tanah dan berdampak pada meningkatnya jumlah jam kerja efektif, dan pendapatan petani dibanding sebelum GPP. Penambahan jumlah dan jenis usaha tersebut beragam antar kelompok/petani yang menimbulkan keragaman pola usahatani di setiap kelompok tani GPP. Pola usahatani dominan adalah: Pola usahatani I (5 jenis usaha): padi-padi+kakao+buah-buahan+sapi+RPL dengan jumlah poktan/petani pelaksana 26%; Pola usahatani II, 4 jenis usaha (23%):padi-padi+kakao+buah-buahan+sapi; Pola usahatani III, 3 jenis usaha (30%):padi-padi+buah-buahan+RPL; Pola Usaha Tani IV, 2 jenis usaha (21%): padi-padi+buah-buahan atau RPL. Indeks usaha dengan adanya program GPP meningkat dari <2 sebelum GPP menjadi 2,5-3,0 setelah GPP. Dengan meningkatnya indeks usaha (jumlah usaha), jam kerja efektif juga meningkat rata-rata lebih dari 3,5 jam per hari dengan titik ungkit penambahan jam kerja adalah ternak sapi dan usaha tanaman semusim.
Usaha yang dikembangkan GPP mulai menunjukkan keberhasilan, sebagian tanaman (kakao dan buah-buahan) dan ternak sapi yang difasilitasi tahun 2011-2012 sudah mulai menghasilkan dan produktifitas padi sawah meningkat sekitar 10%. Berdasarkan jenis usaha yang berlanjut dan sudah menghasilkan sampai tahun 2014, maka rata-rata pendapatan petani menurut pola usahatani per tahun dapat diukur yaitu pola usahatani I sebesar Rp. 18.206.000,- atau meningkat 13,7 % dibanding sebelum GPP; Pendapatan pola usahatani II menjadi Rp. 18.056.000,- atau meningkat 12,7%; Pendapatan pola usahatani III Rp 17.8162.000 atau meningkat 11,2 %, dan pola IV Rp. 17.426.000,- atau meningkat 8,8%. Berdasarkan garis kemiskinan tahun 2013 (BPS), maka petani yang mengusahakan Pola I dan II, pada tahun 2014 di Kabupaten Pasaman, Pasaman Barat, Agam, Tanah Datar, Solsel, Sijunjung, Dharmasraya dan Kota Sawahlunto sudah keluar dari kemiskinan dan pada tahun berikutnya menuju kondisi kesejahteraan yang lebih baik dengan rata-rata pendapatan RTP minimal Rp 2,0 juta per bulan.
Tujuan akhir tersebut bisa dicapai dengan asumsi setiap usaha tanaman dipelihara dengan baik sesuai teknik produksi yang dianjurkan, dan ternak sapi dijual setelah setiap petani memiliki 2 ekor sapi. Berdasarkan proyeksi hasil usaha dan pendapatan sampai tahun 2017, petani dengan pola III dan IV di Kabupaten Padang Pariaman, Limapuluh Kota, Pessel, Solok dan Kota selain Sawahlunto dan Bukittinggi belum keluar dari garis kemiskinan, meskipun sudah terjadi peningkatan pendapatan menuju rata-rata pendapatan minimal Rp. 2,0 juta per bulan. Hal ini disebabkan (i) jumlah usaha pola III adalah 3 jenis dan pola IV hanya 2 jenis tanpa ternak; (ii) Besaran angka garis kemiskinan juga meningkat sesuai dengan perkembangan ekonomi di setiap wilayah (kabupaten/kota); (iii) Distribusi fasilitasi usaha tidak merata, terkait kemampuan pendanaan, sehingga tidak semua petani sasaran terfasilitasi jumlah usaha menjadi >3 jenis yang menimbulkan keragaman pola usahatani.
Untuk meningkatkan kinerja GPP, keberlanjutan usaha dan mengurangi kesenjangan pendapatan antar pola usahatani akan diupayakan penambahan fasilitasi usaha bagi poktan/petani dengan pola III dan IV terutama usaha tenak, meningkatkan pembinaan dan pendampingan, membuat aturan-aturan pengusahaan ternak dan serta medorong penyuluh dan pengurus poktan bekerja keras menggerakkan petani memelihara usaha yang sudah difasilitasi menuju tingkat kesejahteraan yang lebih baik ke depan.
Perhatian Pemprov Sumatera Barat terhadap pertanian diwujudkan juga dengan anggaran pertanian lebih dari 7 persen dari APBD (persentase tertinggi se Indonesia). Hal ini karena lebih 60 persen penduduk Sumatera Barat berada di sektor pertanian dan kemiskinan-pengangguran sebagian besar berada di sektor pertanian (secara luas).
Pemprov Sumatera Barat telah mencapai produksi padi yang melebihi target nasional, terkendalinya hama dan penyakit tanaman, meningkatnya penggunaan benih unggul, berkembangnya luasan pertanian organik dan meningkatnya produksi komoditi jagung, manggis, sayur-sayuran dan buah-buahan. Kemudian terlaksananya cetak sawah baru dan meningkatnya produksi olahan hasil pertanian. Dengan program-program tersebut tersebut, alhamdulillah terjadi peningkatan jumlah rumah tangga petani yang sejahtera di nagari tertinggal, dimana pada tahun 2010 kurang dari 2000 KK kemudian meningkat di tahun 2014 menjadi 22.320 KK.
Sejak tahun 2006 sudah ada 25.000 hektar lahan coklat, kemudian di tahun 2014 sudah mencapai 160.000 hektar lahan coklat.
Sejak tahun 2010 hingga saat ini telah dilakukan berbagai kegiatan dan usaha yang dilakukan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sumatera Barat dalam meningkatkan produksi, baik tanaman pangan maupun tanaman hortikultura, yaitu: 1. Pemberdayaan petani, 2. Pengembangan kelembagaan, 3. Peningkatan SDM aparatur, 4. Perluasan areal tanaman, 5. Peningkatan efisiensi usaha tani, mutu produksi, 6. Pengembangan kawasan sentra, 7. Fasilitasi sarana dan prasarana pertanian, 8. Revitalisasi penyuluh pertanian.
Di tahun 2011, Pemprov Sumbar menerima Penghargaan atas Pertisipasi Aktif Pemerintah Daerah Sumatera Barat Membangun Pembenihan dan Pembibitan Nasional. Di tahun 2013, Sumbar masuk kedalam Sepuluh Besar Kelompok Tani Ternak Berprestasi Tingkat Nasional. Lembaga Internasional Swisscontact Belanda memberikan penghargaan ‘Certificate of Appreciation’ kepada Gubernur Sumbar atas komitmennya dan kontribusi Pemprov mengembangkan kakao.
Masih di tahun 2013 Sumbar mendapat penghargaan tertinggi dari Ketua Dewan Ketahanan Pangan Nasional Presiden Republik Indonesia. Penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara merupakan salah satu bentuk penghargaan atas kontribusi yang luar biasa sekaligus untuk mendorong partisipasi dan kreatifitas masyarakat dalam upaya mewujudkan kedaulatan, kemandirian dan ketahanan pangan di daerah guna mendukung ketahanan pangan nasional. Pada tahun 2014, Gubernur Sumbar mendapat penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara sebagai Pembina ketahanan pangan terbaik.
Di tahun 2014, Sumbar mendapat Penghargaan dan Prestasi dalam Pengembangan Mutu dan Keamanan Pangan Produk Pertanian. Pada tahun 2015 Sumbar mendapatkan Sertifikat KAN ISO/IEC 17025 untuk Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Balai Laboratorium Klinik Kesehatan Hewan (BLKKH) Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Sumbar. (Penulis adalah Gubernur Sumatera Barat).