BIJAK ONLINE (Opini)-BILA ingin melihat sebuah nagari, tanpa survey pun kita bisa 'membaca' apa dan bagaimana nagari itu sendiri. Gampang saja, tena atau tenok saja laku dan perbuatan pemimpinnya. Kalau pemimpinnya kacau, rakyatnya juga mencerminkan kekacauan. Kalau pemimpinnya tukang bohong, rakyatnya juga mencerminkan ketidakjujuran. Kalau nagarinya berbencana keterusan , itu pertanda; pemimpinnya dzalim.
Pada saat mana kecanggihan teknologi seperti saat ini menjadi pakaian sehari-hari, kita tak mesti turun badan. Manajemen hidup terkini adalah 'manajemen' bel, atau juga 'manajemen online'. Kehebatan teknologi, memudahkan hidup memang. Bila kita paksakan raga harus kemana-mana dan harus selalu ada di mana-mana dalam realita, maka pada saat itu raga lelah.Kelelahan raga memberi pengaruh yang luar biasa pada daya pikir. Berpikir dalam raga yang lelah, hasilnya adalah "mengambang". Pikiran yang mengambang, mirip seperti 'setan' di bumi, di mana kakinya tak menginjak tanah.
Ketika kaki sedang tidak menginjak tanah, lalu melahirkan pikiran, pikiran kemudian menjadi keputusan atau sikap atau kebijakan 'diri' maka yang terjadi adalah 'keputusan hantu'. Maksudnya, keputusan yang 'tidak manusiawi'. Keputusan yang tak merambah nilai guna dan nilai manfaat untuk kehidupan manusia. Pada saat itu kemubaziran menjadi sebuah derita yang bertaman pada zaman itu. Konyolnya, derita itu dianggap taman bunga yang indah. Ini mirip kepada ' segelas anggur berisi tuba'.
Kasihan.
Sulit bagi saya, bagaimana cara menyampaikan ini di saat mana kesalahan disanjung-sanjung, kebenaran dan keadilan dikubur dalam-dalam. Pikiran dan hati massa yang sudah teracuni, memang sulit untuk 'dibersihkan' . Kebanaran akan dianggap kekeliruan. Kekeliruan dianggap kebiasaan. Kebiasaan menjadi biasa. Biasa menjadi tradisi. Tradisi menjadi pakaian sehari-hari.
Inilah abad di mana, zaman di mana kesalahan dianggap kebenaran. Kebenaran; mati. Keadilan lenyap.
Orang-orang baik disingkirkan, setan ditegaktalikan! Bahkan, bila perlu disembah-sembah. Lalu, ramai-ramai diberi penghargaan. Kebohongan dihargai, kejujuran diludahi.
Sedih aku, kebenaran disonggengkan, tapi kedustaan kok diberi tepuk tangan. Bila kesalahan terlalu sering kita tongek, maka yang akan terjadi adalah 'berpestanya petaka di mana-mana'. Ironisnya, petaka atau musibah tak lagi dianggap ujian, cobaan, atau hukuman. Tapi, dianggap 'berkah'. Berkah politik. Gila.
Sementara para pemesta duniawi, sibuk berselfi-selfi ria berlatar belakang darah,air mata, bahkan bencana!
Berbahaya.
KEKUASAAN
Kekuasaan manusia di atas bumi dapat dilihat dari bagaimana peristiwa-peristiwa yang terjadi. Bumi dan peristiwa adalah cermin dari kelakukan manusia. Sementara, pemimpin adalah cermin dari kelakuan massa.
Sebuah kebaikan, bila ia benar-benar baik; tak perlu dijelaskan hingga berbusa-busa liur keluar. Liur yang keluar itu, dahak yang tersekat di kerongkongan itu, ketika dilidahkan...olala; diperebutkan ramai-ramai untuk didaguk. Ah, penyakit atau virus, kok dianggap obat penawar luka?
Kebaikan atau kebenaran bukan untuk diperdebatkan, biarkan saja 'alam' bicara.
Dunia, makin ke ujung makin dicoba. Cobaan-cobaan akan berlapis-lapis dahsyat. Energi-energi negatif akan berbaris rapi menghancurkan energi positif. Ketika energi positif enggan mempertemukan diri dan enggan menjinakkan energi positif, maka jangan harap ada cahaya. Lampu tak akan pernah hidup ketika energi + tak bertemu - . Akhirnya, gelap dianggap terang. Terang dianggap gelap.
Adalah sebuah keniscayaan, bahwa salah satu tanda-tanda dunia akan kiamat adalah ketika kejahatan kekuasaan dipuja-puji. Pemimpin yang zalim disanjung-sanjung. Pemimpinnya gila hormat, gila harta, gila tahta dan perbuatannya cendrung membuat massa dan masa menjadi gila.
Ketika terjadi kegilaan massal, yang berada di depan adalah Dajjal dan setan. Manusia-manusia menjadi zombie, melahap manusia benar.
Makanya, gampang saja mengevaluasi pemimpin yang benar atau tak benar. Mulai saat kini, hitung apa-apa yang terjadi. Apakah masyarakat dalam keadaan tentram?Apakah masyarakat dalam keadaan nyaman?Apakah kehidupan tertib? Apakah bencana datang silih berganti? Apakah keresahan menjadi-jadi? Rasakan dari lingkungan kecil. Mulai dari rumah tangga. Lalu meningkat ke tingkat RT. Lalu ke RW. Lalu ke tingkat kota atau tingkat kabupaten. Lalu pertanyakan, apakah kau merasa nyaman dan aman? Apakah bencana minim adanya? Apakah, tak banyak keganjilan-keganjilan. Apakah nikmat pembangunan terasa merata? Kalau jawabannya iya; bersyukurlah, anda sedang dipimpin oleh orang yang benar.
Lalu sampaikan pada tingkat propinsi dan negara.
Kalau ternyata, hidupmu susah. Itu pertanda, pemimpinmu 'salah', kau juga salah, kita juga salah. Mengapa, karena pemimpin adalah cerminan pemilihnya.
Bila ingin melihat sebuah nagari, tanpa survey pun kita bisa 'membaca' apa dan bagaimana nagari itu sendiri. Gampang saja, tena atau tenok saja laku dan perbuatan pemimpinnya. Kalau pemimpinnya kacau, rakyatnya juga mencerminkan kekacauan. Kalau pemimpinnya tukang bohong, rakyatnya juga mencerminkan ketidakjujuran. Kalau nagarinya berbencana keterusan , itu pertanda; pemimpinnya dzalim .
Dan, niscaya; yang memberi penghargaan kepada pemimpin adalah kita, kita yang rakyat badarai; bukan institusi lain.
Kalau saya jadi pemimpin, saya tak butuh penghargaan Presiden, Gubernur, Walikota, atau yang lainnya. yang saya butuhkankan adalah "penghargaan" dari rakyat yang saya pimpin.
Mau 100 atau 200 penghargaan, itu akan saya cabik-cabik. Untuk apa kertas penghargaan kalau rakyat saya di berbagai pelosok negeri cabik-cabik dan luka. Sebelum rakyat saya berdarah-darah karena susah hidup, biarlah saya yang berdarah-darah dengan melakukan apa saja di jalan baik demi rakyat yang saya pimpin. Asal kebaikan untuk rakyat saya apapun akan saya laksanakan dalam ridhoNya, saya rela dicaci maki rakyat saya sendiri. Daripada saya diharga-hargai, saya ditongek-tongek, surat penghargaan tiba tiap sebentar, lebih baik saya susah asal rakyat saya senang.Bukan senang melihat rakyat susah.
Ayo, mari kita bulatkan tekad.Tekad untuk menciptakan kebaikan-kebaikan. Mari kita saling berangkul tangan dalam rangkulan kecerdasan. Saatnya, rakyat hebat memilih, memilih pemimpin yang baik; bukan pemimpin buruk yang bertopeng baik. Dan bukan pula, keparat berlagak malaikat!
Ya Allah, beri kami pemimpin yang adil, bukan pemimpin yang hanya mementingkan dirinya, keluarganya, kawan-kawannya, golongannya dan orang-orang yang sepaham hanya dengan dia.
Ya, Allah; turunkan kepada kami ; pemimpin untuk semua...(Penulis adalah Penyair Aku Sang Raja dan Budayawan Muda Ranah Minang)