BIJAK ONLINE (SOLOK)-Ari salah seorang warga Kota Solok mengeluhkan sisten voucher listrik pra-bayar. Alasannya karena kontrol utamanya pada kode-kode slip pulsa tidak bisa diketahui jumlah pemakaiannya oleh masyarakat. 

"Kalau sistem meteran, jelas masyaakat bisa melihat jumlah yang terpakai setiap bulanya," kata Ari (39) warga kota Solok," ketika dihubungi, Selasa, 15 September 2015.

Menurut Ari, kalau sistem voucher pelanggan membayar Rp100 ribu dan yang dapat menikmati listrik senilai Rp95 ribu. "Pelanggan harus pasrah saja ketika hanya menikmati listrik seharga Rp95 ribu dan bukan Rp100 ribu," katanya.

Kemudian yang anehnya,  jika dipertanyakan persoalnya ini kepihak PLN,  dijawan adanya biaya-biaya yang harus dikeluarkan, utamanya biaya administrasi bank sekitar Rp1.600. "Yang menjadi masalah utama, atas dasar apa bank mengenakan tarif sejumlah itu? Kalau tarif  KWH saja diatur oleh negara, kenapa tarif administrasi bank itu tidak diatur oleh negara? Konsumen hanya di-fait-accomply untuk membayar sejumlah tarif administrasi bank berdasarkan kesepakatan antara pihak bank dan PLN,” tutur Ari

Persoalan Ini, kata Ari lagi,  menjadi masalah besar ketika pelanggan listrik adalah orang miskin biasanya membeli pulsa listrik secara eceran dan beberapa kali, jadi orang miskin dikenakan biaya administrasi bank beberapa kali daripada orang kaya yang bisa membeli pulsa listrik langsung untuk kebutuhan satu bulan dan hanya membayar biaya administrasi bank 1 kali.

Sementara itu, orang miskin akan membeli pulsa listrik setiap minggu. Akhirnya, orang miskin dikenakan biaya administrasi bank 4 kali dari orang kaya.

Permasalahan kedua, pelanggan tidak pernah tahu berapa kWh yang layak diterimanya dari jumlah yang dibelinya di slip pulsa. Ia hanya tahu bahwa ia harus membeli lagi ketika ada bunyi sinyal dari meteran listriknya. Posisi bargaining pelanggan pada pulsa listrik pra bayar lemah. Ia sangat pasrah dengan estimasi jumlah kWh yang diberikan oleh slip pulsanya yg dia tdk tau jumah pemakaiannya.  Karena, ketika penyedia jasa mengubah tarif melalui konfigurasi kode pada slip bayar, pelanggan berada pada posisi yang lemah dan menerima begitu saja.

Sistem pra bayar ini rentan bagi orang miskin ketika tarif listrik berubah. Misalnya Rp100 ribu saat ini cukup untuk membeli 71 kWh. Kemudian, ada kebijakan perubahan tarif dari pemerintah/PLN mulai bulan depan Rp100 ribu hanya cukup untuk membeli 65 kWh. Karena kontrol tarif bukan lagi di alat meteran, tetapi pada kode-kode di pulsa, orang kaya bisa menimbun dengan membeli pulsa sebanyak-banyaknya dan baru dipakai kemudian. Artinya, orang kaya bisa membayar dengan tarif lama di bulan berikutnya, sementara itu orang miskin akan menggunakan listrik dengan tarif baru.

“Siapa yg menetapkan tarif administrasi bank sejumlah itu? Kenapa tarifnya sejumlah itu? Siapa pula yang diuntungkan dari biaya administrasi itu? Selama ini, pendapatan dari administrasi bank ini adalah pasar gelap (black market) dan menguntungkan pihak-pihak tertentu saja,” tambah Ari

Selanjutnya, masyarakat  tidak tahu bahwa biaya administrasi bank itu sudah memperkaya korporasi provider sistem data exchange bank, yang kita pun tidak mengenal siapa mereka itu dan tidak jelas proses seleksinya. Inilah sebenarnya yang dimaksud sebagai mafia pulsa (van/wan)

google+

linkedin