BERBAGAI pertanyaan muncul ketika saya diketahui teman-teman menjadi bahagian dari masyarakat Sumatera Barat yang senang dan sekaligus ikut mendukung perjuagan Prof DR H Irwan Prayitno Psi Msc, yang berniat dan bertekad,  melanjutkan kembali keinginannya membangun Provinsi Sumatera Barat, setelah mengakhiri masa pengabdiannya sebagai Gubernur Sumatera Barat, 15 Agustus 2015 lalu.

Sebagai seorang wartawan, saya menilai wajar saja ada pertanyaan tentang  kenapa saya mendukung, Prof Irwan Prayitno. Soalnya, seorang wartawan berdasarkan kode etik dan UU Pokok Pers, memang harus  bersikap netral terhadap semua calon kepala daerah yang maju di Pilkada Serentak Sumatera Barat, yang pemilihannya akan dilaksanakan, 9 Desember 2015 mendatang. 

Dari sekian banyak pertanyaan, ada yang saya jawab serius dan adapula yang saya jawab secara berkelakar, atau berseloroh dengan kata-kata yang penuh canda, yang dibarengi dengan ketawa terbahak-bahak. Contohnya;" Ha ha ha, apo indak buliah lo ambo sebagai seorang wartawan senang dan suko kepada Prof Irwan Prayitno yang kampungnyo Taratak Paneh  Kuranji yang basabalahan jo kampung ambo Pauhlimo, Kecamatan Pauh, Kota Padang?". 

Kemudian ada juga yang saya jawab;" Ha ha ha walaupun ambo baru berkenalan secara dekat dan pernah duakali melakukan wawancara, ambo mancaliak Prof IP, sosoknyo bersahaja, bersahabat dan menyediakan waktu khusus untuk diwawancarai dengan tepat waktu." 

Jujur, saya berkenalan serius dengan Prof Dr H Irwan Prayitno Psi Msc, di Masjid Raya Sumatera Barat, seminggu mau Idil Fitri 1436 H. Masalah ini, juga pernah saya tulis pada catatan sebelumnya, termasuk rekam jajak Irwan Prayitno dalam pengabdiannya sebagai anak bangsa dan anak Nagari Ranah Minang  dikancah nasional, sebagai anggota DPR RI. 

Sedangkan bagi penanya lain yang saya jawab serius, saya sebutkan kalau saya 2006 lalu menerima sebuah buku dari sahabat saya,  Dahniel Aswad yang berprofesi seorang dosen dan aktifi LSM dan pernah juga mencalonkan diri sebagai calon Walikota Padang dari jalur independen.  Adapun Buku yang diberikannya, karya tulis ilmiah yang ditulis  Bill Kovanh dan Tom Rosentiel dengan judul The Element of Journalism: What Newspeople Should Know and The Public Should Expect (2001). 

Kemudian saya sebutkan, kalau dalam buku karya Bill Konvack dan Tom Rosentiel ada sekitar sembilan prinsip-prinsip  junalisme yang disimpulkannya, yang sesuai dengan kondisi kekinian di dunia wartawan.  Yang menariknya, setelah mendapatkan dari saya, ada yang menyarankan, agar  saya menulis inti sari dari buku tersebut.

Permintaan rakan-rekan  itu, tentang karya tulis Bill Konvack dan Tom Rosentiel, rupanya  juga telah memberikan inspirasi kepada Achmad Sulfikar, yang setuju juga dengan Sembilan prinsip jurnalisme  yang disimpulkan Kovach dan Rosenstiel setelah melalui Committee of Concerned Journalists , serta banyak mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dari berbagai media di Eropa dan Amerika.  

Untuk sekedar memberikan inspirasi dan memudahkan memberikan penilaian terhadap sosok wartawan, saya sengaja memaparkan kesembilan kesimpulan dari Bill Konvack dan Tom Konsenteil tersebut secara detail. 

Yang pertama, sudah merupakan kewajiban utama jurnalisme pada suatu kebenaran dan journalis yang dimaksudkan  bukan fokus pada mengejar kebenaran dalam pengertian yang absolut atau filosfis, tetapi harus bisa mengejar kebenaran dalam pengertian yang praktis. Kenapa? Karena kebenaran jurnalistik ini adalah suatu kebenaran yang dibangun di atas pondasi verifikasi, transparansi dan akurasi informasi. 

Yang kedua, masalah loyalitas utama jurnalisme kepada masyarakat. Maksudnya, seorang wartawan haruslah  memelihara kesetiaan kepada masyarakat dan kepentingan publik yang luas di atas yang lainnya dan Media harus dapat mengatakan dan menjamin kepada khalayak bahwa informasinya tidak diarahkan demi kawan, pemasang iklan atau arah politik tertentu. 

Yang ketiga, adalah esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Maksudnya, disiplin verifikasi dalam jurnalisme sebuah garis tegas yang membedakannya dengan bentuk komunikasi yang lain seperti propaganda, fiksi atau kampanye politik. Disiplin profesional wartawan menuntut untuk melakukan verifikasi terhadap informasi yang akan disebarluaskan. 

Yang keempat, seorang jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya, soalnya landasan kepercayaan publik terhadap wartawan adalah kebebasan. Maksudnya, bukan hanya masalah netralitas, tetapi juga kebebasan pikiran dan jiwa adalah prinsip yang harus dijaga oleh wartawan. 

Yang kelima, seorang jurnalis haruslah  membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan. Sikap atau prinsip ini sangat menekankan wartawan agar tidak ikut dalam pusaran cerita yang dia tulis. Maksudnya, si wartawan adalah penjaga, penonton cerdas yang menulis apa saja yang terjadi dalam masyarakat, tidak terlibat dan menjadi bagian dari cerita yang ditulisnya. 

Yang keenam, jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari publik. Maksudnya, diskusi publik ini bisa melayani masyarakat dengan baik jika mereka mendapatkan informasi berdasarkan fakta, dan bukan atas dugaan atau prasangka. 

Yang ketujuh, seorang jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan. Maksudnya, si wartawan menulis untuk sebuah tujuan (story telling with a purpose). Soalnya, kualitas tulisanya diukur dari sejauh mana karya jurnalistiknya melibatkan khalayak dan mencerdaskannya. 

Yang kedelapan, seorang jurnalis harus menjaga,  agar beritanya komprehensif dan proporsional. Di sini kita memandang jurnalisme sebagai sebuah bentuk kartografi. Ia menciptakan sebuah peta bagi masyarakat untuk menentukan arah kehidupan. Berita harus dijaga agar tetap proporsional. Menggelembungkan peristiwa demi sensasi, mengabaikan sisi-sisi berita yang lain, sikap stereotip atau bersikap negatif secara tidak adil akan membuat peta kurang dapat diandalkan. 

Sedangkan yang kesembilan, seorang jurnalis mempunyai  kewajiban untuk mengikuti suara nuraninya. Maksudnya, setiap jurnalis, suka atau tidak suka, harus memahami rasa etika dan tanggung jawab secara personal pada ajaran agama. Maksudnya, si wartawan harus memilikirasa  tanggung jawab untuk menyuarakan sekuat-kuatnya nurani mereka dan membiarkan yang lain melakukan hal yang serupa. 

Dari uraian sembilan point tentang sikap seorang wartawan tersebut, saya yakin masyarakat akan memahami dan bisa melihat secara objektif tentang bagaimana seharusnya atau selayaknya seorang waratawan bersikap dan bertindak yang sesuai dengan agama yang diyakininya, serta kaedah-kaedah  Kode Etik Jurnalistik yang telah disosialisasi Dewan Pers.

Kata kuncinya, saya mengajak rekan-rekan wartawan, agar merenungkan tentang bagaimana memposisikan diri sebagai wartawan dengan tujuan memberikan manfaat bagi masyarakat, sehingga menjadi wartawan hebat yang bermartabat. 

Sedangkan mengenai penilain masyarakat yang mempertanyakan saya ikut mendukung perjuangan Prof Irwan Prayitno, ya saya serahkan saja sepenuhnya kepada masyarakat yang memberikan penilaian. Yang jelas, saya tidak termasuk dalam timses, tim relawan. 

Kemudian, perlu juga saya tegaskan, kalau saya belum pernah menerima uang, hadiah dan pemberian lainnya. Sedangkan masalah tayangan iklan di portal tabloidbijak.com dan padangpos.com, saya tanyangan sebagai sumbangsih saya sebagai anak nagari Kota Padang pinggiran, kepada Prof Irwan Prayitno. 

Kata tegasnya, dukungan saya kepada Prof Irwan Prayitno hanya berdasarkan penilaian pribadi, bahwa Prof Irwan Prayitno memang lebih layak dan pantas untuk melanjutkan pengabdiannya demi Sumatera Terabat Sejahtera. (penulis wartawanTabloid Bijak (cetak) dan tabloidbijak.com/ padangpos.com)

google+

linkedin